Pemilu legislatif telah lewat , pilpres sudah menjelang .
Suhu persaingan antar parpol semakin panas. Antara tidak puas , sakit hati, iri hati pun semakin kentara.
KPU dijadikan kambing hitam karena permasalahan DPT yang sungguh berantakan . Panwaslu dibiarkan bekerja keras dengan berbagai langkah partai politik yang dianggap tidak tepat.
Intimidasi, teror, sikut kiri-kanan dan berbagai permainan belakang layar lain menjadi isu terkini situasi politik Indonesia, khususnya Aceh.
Di pihak lain, masyarakat semakin bingung dengan situasi politik yang tidak menentu. Tak ayal, kebingungan yang sudah berlarut ditambah kondisi pemerintahan yang tidak kunjung membaik menjelma menjadi satu keputusan; golput dalam pemilu . Dan angka golput ini sekalipun tidak dikampanyekan segencar kampanye parpol ternyata dampaknya masih luar biasa, artinya angka golput masih cukup tinggi. Dalam hal golput ada 2 kategori Golput yaitu golput sengaja dan golput dipaksa.
Bagi yang golput dipaksa mereka mencak - mencak dan mengatakan KPU tidak becus bekerja dan bagi pimpinan parpol yang baru masuk kancah politik mengatakan bahwa masalah DPT tersebut adalah agenda kecurangan secara sistematis yang dilakukan partai yang saat ini berkuasa.
Golput bisa ditafsirkan sebagai sikap pesimistis terhada calon legslatif yang ada. Mereka yang dicalonkan menjadi anggota dewan kali ini dianggap tidak mampu membawa perubahan dalam tatanan pemerintahan secara khusus, apalagi mengharap kesejahteraan rakyat yang terkadang tidak menjadi prioritas.
Dan ini memang ada benarnya terutama dari parpol yang tidak berbasis kader, sehingga setelah pemilu legislatif banyak caleg streess dan meninggal dan bunuh diri karena tidak bisa menerima kekalahan.
Klaim bodoh tidak bisa sembarangan dialamatkan kepada masyarakat yang lebih memilih untuk golput, golputers ini pun terdiri beragam kalangan termasuk mereka yang cerdas. Atas dalih kecerdasan itulah mereka memilih tidak memberi suara. Alih-alih membawa perubahan, mengontrol diri sendiri saja belum tentu mampu, demikian sebagian pendapat mereka yang memilih golput menanggapi kinerja calon legislatif yang akan kita pilih 9 april ini.
Sebagaimana jamak kita ketahui, walaupun mengklaim diri tidak memilih, pada dasarnya mereka yang melakukan golput tetap menjalani pilahan juga; pilihan untuk tidak memilih. Keputusan untuk tidak memilih adalah keputusan yang harus kita hormati. Karena di dalamnya bercampur aduk antara dendam, rasa bosan dan tingkat emosi lainnya yang pasti sudah dipikir secara matang.
Dari kalangan ulama muncul anjuran untuk tidak golput dalam pemilu. Sementara kalangan yang lebih ekstrem beranggapan bahwa haram mengikuti pemilu. Artinya, jika fatwa ulama mengatakan bahwa golput haram (dalam tanda kutip) maka bagi mereka adalah haram tidak golput. Lebih lanjut, mereka beranggapan bahwa demokrasi adalah sistem kafir yang tidak perlu diapresiasi sama sekali, apalagi dijalankan.
Di saat merebaknya berbagai polemik pemikiran menjelang pemilu, maka kita sebagai rakyat seharusnya menyadari bahwa sebagai pemilih kita masih punya tugas menjadi kontrol bagi pemerintah terpilih. Faktor pendidikan yang dipadukan dengan idealisme tinggi kemajuan bangsa akan menjadikan kita sebagai salah salah satu aktor dalam perjalanan bangsa ke depan.
Rasa bosan atas kinerja pemerintah selama ini sebenarnya juga berlatar belakang dari sikap apatis rakyat terhadap suatu pemerintahan yang berlangsung. Prinsip pragmatis dan kehidupan instan menjadi simbol masyarakat kita saat ini. di satu sisi mengahrap adanya perubahan secara total, tetapi di sisi lain mereka malah anti dengan roda perubahan itu.
Pemilu yang dikatakan sebagai tonggak perubahan bangsa tidak akan berjalan jika masyarakat masih memegang dasar egosentris. Melihat realitas yang ada atas dasar opini pribadi sungguh tidak laik bagi masyarakat demokrasi. Adanya kombinasi positif antara rakyat dan pemerintah adalah tanduk bagi kemajuan suatu bangsa demokrasi.
Melihat sikap masyarakat kita saat ini, di mana sebagian masih berpangku tangan sepenuhnya pada kinerja pemerintah, sementara sebagian lain terus mengedepankan kerangka berpikir yang oleh Thomas Hobbes dikatakan hasrat untuk berkuasa. Kedua kutub ini tidak akan dapat disatukan dalam satu pemerintahan yang konkrit. Oleh karena itu perlu ada kecermatan bagi kita sebagai konsekuensi diselenggarakannya pesta demokrasi ini.
Ketika kita menggugat sistem atau oknum yang berjalan di atas sistem itu, kita juga harus bisa mewujudkan diri sebagai masyarakat yang bergandeng tangan dengan pemerintah yang ada.
Toh yang terjadi selama ini adalah ulah oknum yang menghancurkan sistem demokrasi.
Jadi kita tidak dapat mengklaim ketidak-berhasilan sistem dalam menegakkan amanat rakyat, tetapi lihat pelakunya. Kita harus bisa menilai secara personal, arah mana yang dituju oleh seorang individu dalam menjalankan roda pemerintahan.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, memilih golput lebih disebabkan sikap pesimistis terhadap keberhasilan sistem. Padahal elemen yang paling berperan dalam menegakkan kesatuan bangsa adalah pelaku sistem. Jadi ketika kita tidak puas terhadap keberlangsungan sistem selama ini, bukan berarti kita menjauh, tetapi marilah kita melihat figur-figur baru yang siap memegang estafet bangsa.
Umat Islam sebagai kalangan mayoritas sangat disayangkan jika memilih golput sebagai jalan keluar. Karena ketika suara mayoritas tidak tersampaikan, jangan harap aspirasi umum akan tercapai. Ada benarnya jika dikatakan bahwa selama ini juga aspirasi mayoritas belum tersalurkan dengan utusan yang bergerak di dalam parlemen. Tetapi bisakah kita membayangkan, ketika tidak ada unsur mayoritas yang bergerak di sana, yang terjadi adalah dilangkahinya hak-hak mayoritas.
Oleh karena itu kita harus menyadari betapa pentingnya suara kita dalam pemilihan umum. Jika orang-orang cerdas yang dapat membedakan antara caleg baik dan buruk tidak memberikan suara (golput) maka tinggallah mereka yang awam dengan variasi pilihannya, apalagi masyarakat kita yang berada di pelosok masih banyak yang diidentifikasi buta huruf, lantas atas dasar apa mereka miemilih? Kondisi seperti ini sangat riskan, mengingat suap dan pembelian suara semakin marak, belum lagi dengan intimidasi dari golongan tertentu yang diperkirakan akan semakin merajalela untuk memenangkan partainya.
kondisi pemilu seperti itu akan melahirkan pengambil kebijakan yang lahir bukan dari nurani rakyat. Dan efek yang akan dirasakan juga bukan saja oleh mereka yang memilih, tetapi seluruh komponen masyarakat akan terkena imbas. Oleh karena itu, manakah yang lebih baik melenggangkan politikus yang busuk sama sekali atau memilih legislatif yang masih mempunyai sedikit kebaikan.
Kita tidak sedang berbicara mana yang terbaik di antara yang baik, karena penulis rasa akan banyak yang komplain. Tetapi mari kita lihat mana yang lebih baik di antara yang buruk, karena pikiran masyarakat kita sebagian telah cenderung negatif terhadap politik.
Umat Islam akan kecolongan jika menganggap golput sebagai jalan keluar, apalagi berpikiran bahwa praktik pemilu/ demokrasi tidak relevan dengan kehidupan. Karena jika kondisi seperti ini akan terjadi, akan lahir dari rahim politik orang-orang haus akan “syahwat politik”, mereka yang menghalakan cara apa saja untuk memperoleh kekuasaan.
Di antara kaidah yang sering digunakan adalah “ memilih salah satu perkara yang lebih sedikit unsur dharurah (kemudaratan).” Ketika kita dihadapkan kepada dua pilihan yang masing-masing mengandung unsur kemudaratan, maka kita dianjurkan untuk memilih bagian mana yang terkecil efek kerusakannya. Jika kita menganggap bahwa politikus itu sudah keluar dari mainstream yang berlaku, maka lihatlah di bagian mana orang yang lebih sedikit berlaku curang.
Kondisi politik yang terjadi selama ini adalah bias dari politikus yang lahir dari uang dan keserakahan. Oleh karena itu perlu adanya penyeimbang yang mampu membawa aspirasi umat Islam ke gelanggang politik praktis. Dan perubahan ke arah perbaikan itu tidak bisa dihasilkan seperti membalik telapak tangan, butuh proses dan kesinambungan sistem untuk mewujudkan suatu pemerintahan bersih yang tidak sekedar utopia sebagian pemikir berpandangan sempit.
Tulisan ini bukanlah kampanye untuk mendukung parpol tertentu, karena penulis sendiri cenderung tidak tertarik dengan politik praktis, tetapi bukan berarti kita harus non-partisipan.
Memilih adalah hak bagi kita, sejauh mana kita mengoptimalkan kesempatan dan hak yang telah diberikan kepada kita. Tidak ada paksaan untuk memilih karena dia bukan kewajiban. Tetapi lazim kita ketahui bahwa orang yang tidak mengambil haknya adalah mereka yang menyiakan kesempatan. Karena suara anda begitu berharga untuk nasib bangsa ini 5 tahun ke depan.
Pilihan ada di tangan anda!!
Masihkan anda akan golput kembali dalam pilpres Juli mendatang ?
Ingin minum belilah es
Biasa minum tak takut sakit perut
Ingin berubah ikut aja PKS
Mengapa pula ikutan golput