Rabu, Januari 20, 2010

Apakah Seorang Muslimah Harus Berpolitik

Oleh: Cicin Yulianti

Dogma Politik Penyesatan

Saat ini, khususnya setelah terbongkarnya berbagai tindak kriminalitas yang dilakukan oleh para pejabat negara maupun para elit politik (pada Kasus Century dan ‘Gurita Cikeas’), banyak orang yang merasa phobi mendengar kata politik atau hal-hal berkenaan dengan aktivitas politik. Sikap apatis atau phobi pada politik bukan hanya dirasakan oleh kalangan grassroot, bahkan para intelektual muslim pun terjangkit perasaan dan pemikiran yang sama.

Persoalan yang menggejala tersebut disebabkan karena praktek-praktek aktivitas yang dilakukan oleh gerakan yang menamakan dirinya sebagai partai politik atau mereka yang mengaku para politikus saat ini memberikan gambaran yang negatif pada makna politik. Masyarakat memandang makna politik an sich direkatkan pada aktivitas pengejaran kekuasaan atau kepentingan untuk golongan. Sebagai contoh, politik etis, politik balas budi, money politik, kontrak politik, dan sebagainya. Itulah makna politik dan atau aktivitas politik yang digambarkan oleh organisasi-organisasi yang menamakan dirinya partai politik saat ini.

Masyarakat secara umum sebenarnya menyadari bahwa negerinya berada dalam kondisi yang buruk dan kacau akibat kesalahan praktek politik yang diterapkan penguasa dan sistemnya. Refleksi akhir tahun negeri ini sebagai telaahnya. Masyarakat sebenarnya sadar bahwa pihak asing telah dibiarkan mengambil alih (privatisasi) perusahaan-perusaahan negara yang menguasai hajat hidup orang banyak (BUMN)- harta mereka.

Mereka tahu bahwa terdapat campur tangan asing dalam pembuatan UU Penanaman Modal, UU Ketenagalistrikan, UU Migas, UU Sisdiknas, UU Kesehatan, UU Rumah Sakit, kebijakan perpajakan, serta Peraturan Presiden No.111/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No.77/2007. Berikutnya di Tahun 2009, hutang Indonesia membengkak menjadi Rp 1.667 triliun - hingga tiap kepala warga negara harus menanggung Rp 7,7 juta; pun tentang pengurangan subsidi listrik dari Rp 47,546 triliun (APBN-P 2009) menjadi Rp 37,8 triliun, sebenarnya masyarakat tahu dan sadar.

Bahkan perasaan mereka kembali tersayat, karena tahu BLT yang dijanjikan pemerintahan baru telah dihapuskan. Semakin tersayat akibat terbongkarnya Kasus Century, dugaan tindak kriminalitas elit pejabat, dan segudang persoalan pelik yang sebenarnya masyarakat mengetahui serta sadar akan kekacauannya, tapi mereka tak mampu berbuat apa-apa.

Mereka sadar bahwa seluruh kebijakan yang diterapkan atas mereka, tentu secara umum diperoleh dari konsensus pihak-pihak yang mayoritas sebelumnya dilahirkan dari organisasi yang mengaku dirinya partai poltik dan dimenangkan dari pakem aktivitas politik- PEMILU. Meskipun mereka menampakkan kemarahan terhadapnya, merasa bosan dengan cara-cara yang dikembangkan partainya, serta tidak menaruh harapan untuk meraih keberhasilan dari metode yang ditempuhnya. Namun mereka menjadi terbiasa pada partai-partai yang ada saat ini.

Masyarakat (umat) sadar bahwa mereka membutuhkan kehadiran pemimpin yang ikhlas, penuh kesadaran, dan mampu merasakan keadaan mereka, namun kesadaran tersebut masih kabur dan perasaan mereka pun masih mengambang, timbul tenggelam. Karena masyarakat tidak mampu memahami (atau lebih tepatnya tidak tergambar) bagaimana format politik yang seharusnya diemban oleh negara, masyarakat (secara umum), atau partai politik sekalipun. Mengapa demikian? karena masyarakat saat ini telah dikendalikan oleh pemikiran kapitalisme-sekuler, dikuasai oleh pemikiran peradaban barat dan perasaan spiritual pasturian (kultusisme). Mereka memang beragama Islam, namun mereka memeluk Islam hanya berdasarkan perasaan, sedangkan pikirannya tetaplah dikuasai oleh aqidah Barat.

Penjajah Barat telah meletakkan dunia islam dalam situasi dan kondisi yang memunculkan aktifitas-aktifitas yang menyerupai aktivitas politik- yang kemudian disebut sebagai aktifitas politik- dan memunculkan beragam organisasi dengan beragam bentuknya, yang kemudian sebagiannya disebut sebagai organisasi politik. Inilah yang menyebabkan masyarakat terkecoh sehingga mereka menduga bahwa aktifitas tersebut merupakan aktivitas politik dan organisasinya merupakan organisasi politik. Dugaan inilah yang membuat masyarakat berada di bawah penguasaan organisasi-organisasi tersebut. Dengan itu pula yang membuat mereka menjadi ajang aktivitas-aktivitas organisasi tersebut.

Dogma berikutnya, seorang muslimah dinyatakan tidak perlu mengenal atau bersentuhan dengan aktifitas politik. Karena kehidupan mereka seharusnya hanya berada di rumah atau dapur.

Sebenarnya bagaimana Islam memandang Politik dan Partai Politik? Apakah seorang Muslimah harus berpolitik?

Islam Memandang Politik

Politik dalam bahasa arab berasal dari kata sasa-yasusu-siyasah yang artinya siasat atau cara pengaturan. Secara umum, makna politik dalam Islam didefinisikan sebagai cara pengaturan urusan umat (riayatus-syu’unil ummah). Kita semua adalah bagian dari umat, maka ketika kita bicara tentang cara bagaimana kita memenuhi kebutuhan hidup dan mengatur kehidupan kita, maka hal tersebut merupakan bagian dari aktifitas politik yang kita lakukan.

Contoh kecil dalam kehidupan sehari-hari (baik laki-laki mapun perempuan), ketika kita lapar atau haus kemudian kita mencari cara agar rasa lapar atau haus itu dapat terpenuhi dengan makan atau minum sesuatu misal, maka sesungguhnya kita tengah melakukan aktifitas politik. Begitupula dalam kehidupan bernegara. Negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri; pada seluruh bidang kehidupan ipoleksosbudhankam (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan). Dengan demikian, aktifitas politik pada dasarnya dilaksanakan oleh individu maupun negara.

Adapun Partai Politik Islam, dalam hal ini bukanlah institusi operasional (negara) atau badan eksekutif yang bertugas merealisasikan secara praktis pengaturan urusan umat dengan menggunakan seluruh potensi kenegaraannya dan potensi umat (masyarakat). Partai politik Islam bukan pula institusi sosial (umat) yang terdiri atas kumpulan orang (laki-laki dan perempuan) yang kemampuan berpikir, fisik, dan jasmaninya berbeda-beda.

Partai Politik Islam merupakan institusi pemikiran yang berfungsi mencerdasakan umat dimana perwujudan aktifitasnya tidak boleh terkontaminasi oleh karakter institusi lain (institusi operasional maupun institusi sosial). Misal : partai politik mengemban misi melaksanakan bakti sosial untuk menyantuni fakir miskin atau anak terlantar, membangun infrastruktur umum (rumah sakit, yayasan pendidikan, dll), atau mengangkat senjata untuk mempertahankan negara, yang notabene tugas tersebut seharusnya diemban oleh institusi operasional (negara).

Bagitupula dengan aktivitas yang dilakukan oleh institusi sosial (umat) tidak dapat dilakukan oleh partai politik sebagai institusi pemikiran. Sebagai contoh adalah tindakan Abu Bakar ra (sebagai bagian dari institusi sosial) tatkala membebaskan Bilal ra, yang ketika itu masih berstatus budak milik Umayyah bin Khalaf. Ketika mengetahui Bilal ra masuk Islam, Umayyah mulai menyiksanya dengan cara menjemurnya di siang hari yang terik dan ditindih batu besar, dengan tujuan agar ia meninggalkan Islam dan kembali kepada kemusyrikan.

Namun Bilal ra tetap sabar menahan siksaan dan hanya mengucapkan kata ‘ahad’ berkali-kali. Padahal sesuatu yang mudah bagi Nabi SAW, sebagai pemimpin Partai Islam pertama di dunia (Hizbu Rasul), mampu mengumpulkan dana dari para shahabatnya guna menebus dan membebaskan Bilal ra serta sahabat lainnya yang disiksa setelah masuk Islam. Namun demikian, beliau tidak melakukannya. Secara inisiatif Abu Bakar ra lah yang melakukannya sebagai bagian dari institusi sosial. Apabila aktivitas yang dilakukan oleh Abu Bakar ra itu merupakan suatu aktivitas yang harus untuk dilaksanakan oleh Partai Politik, maka Nabi SAW segera mengambil sikap yang harus dilakukan oleh partainya. Namun ternyata Beliau SAW sebagai pemimpin Partai, tidak melakukannya walaupun beliau mampu. Hal tersebut memberikan pengertian bahwa ada aktivitas yang individu (sebagai bagian dari institusi sosial) boleh melakukan sementara partai politik tidak boleh melakukannya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

”Siapa saja diantara kalian melihat (suatu) kemunkaran, maka hendaklah ia berusaha mencegahnya dengan tangannya...”

Adapun Partai Politik Islam yang shahih akan mengemban misi-nya dalam dua kegiatan: pertama, berdakwah kepada Islam (terhadap pengikut agama lain –visi rahmatan lil alamiin); dan kedua, melakukan amar ma’ruf nahyi munkar di tengah-tengah kaum muslimin; dimana secara keseluruhan merupakan aktifitas fikriyah (mengajak berpikir dan menentukan sikap – menyeru tanpa kekerasan). Sebagaimana seruan Allah dalam QS. Al-Imran [3] : 104,

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Al-Imran [3]: 104)

Ayat tersebut merupakan seruan perintah (“Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat…”) kapada kaum muslimin (laki-laki dan perempuan) untuk membentuk kelompok dakwah, jamaah atau partai politik islam sebagai sebuah kewajiban (kifayah) secara terus menerus, khususnya pada saat Khilafah Islamiyah masih ada. Apalagi kondisinya saat ini Khilafah (sebagai institusi operasional-Badan Eksekutif yang secara praktis melakukan pengaturan urusan umat) belum tegak. Padahal Syariat Islam akan mampu tertegakkan secara sempurna hanya bila negara menerapkannya sebagai sumber hukum bagi pengaturan kehidupan masyarakat (umat). Oleh karenanya, kewajiban adanya gerakan islam atau partai politik islam yang menyeru agar tertegakkannya kewajiban besar (penerapan syariat Islam secara kaffah dalam sebuah negara) menjadi keharusan yang tertunaikan. Bagitupun dengan hukum ketergabungan individu di dalamnya (dalam partai politik islam), karena kewajiban kifayah tetaplah akan menjadi sebuah kewajiban bagi setiap individu muslim yang mengetahuinya. Terlepas apakah dia seorang laki-laki (muslim) maupun seorang perempuan (muslimah). Hal tersebut berpedoman pada kaidah syara’ yang menyatakan:

“Apabila sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengan suatu perbuatan, maka perbuatan itu wajib pula hukumnya.”

Dalam sistem Islam, partisipasi dan peran politik muslimah (perempuan) diberikan sesuai dengan norma-norma Islam. Kecuali aktivitas-aktivitas yang termasuk dalam wilayah kekuasaan atau pemerintahan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan wilayah kekuasaan atau pemerintahan adalah wilayah pengaturan urusan umat yang dilakukan secara langsung dan meneyeluruh, misalnya penguasa. Dalam sistem Islam, jabatan penguasa mencakup khalifah (kepala negara), mu’awin tafwidh (pembantu khalifah dalam urusan pemerintahan), wali (kepala wilayah), dan ‘amil (kepala daerah).

Sebagaimana dituturkan oleh Abu Bakrah ra:

“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita”. (HR.Bukhari)

Islam mengharuskan seorang muslimah untuk memiliki kesadaran politik dan membolehkan seorang muslimah berkiprah dalam bidang politik tanpa melupakan habitat aslinya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Setiap orang yang mengaku dirinya muslim (laki-laki dan perempuan) sudah seharusnya memiliki keyakinan bahwa hanya sistem Islam-lah satu-satunya sistem yang bisa menyelesaikan seluruh permasalahan manusia tanpa menimbulkan kerugian atau permasalahan baru pada siapapun. Selanjutnya, setiap muslim (laki-laki dan perempuan) harus merasa berkewajiban untuk turut andil memperjuangkan tegaknya suatu sistem Islam di dunia ini dalam partai politik Islam. Dengan begitu, kemuliaan Islam dan umatnya, termasuk muslimah (kaum perempuan), akan kembali terwujud.

Sebagai renungan akhir, cukuplah Allah SWT sebagai penuntun dan pelindung dalam kehidupan kita,

“Tidaklah pantas bagi laki-laki mukmin maupun wanita mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan RasulNya sungguhlah telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (TQS. Al-Ahzab [33] : 36). Wallahu'alam.


Read more »

Performa 3 Politisi PKS di Pansus Memuaskan

Mustafa pun meyakinkan, isu evaluasi koalisi pemerintahan SBY tidak berpengaruh apapun terhadap kinerja anggota pansus dari PKS. "Kami fokus pada content (substansi masalah)," ujar Mustafa.

VIVAnews - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera sama sekali tidak berniat mengganti wakilnya di keanggotaan Panitia Khusus Angket Kasus Bank Century Dewan Perwakilan Rakyat. Fraksi terbesar keempat di parlemen ini bahkan menyatakan rasa puasnya atas kinerja seluruh anggota pansus yang berasal dari PKS.


"Sampai saat ini, kami lihat performa anggota pansus dari PKS cukup baik," kata Ketua Fraksi PKS, Mustafa Kamal. "Tidak ada masalah. Tidak akan ada pergantian," katanya usai Rapat Paripurna DPR di gedung parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 19 Januari 2010.

Sembari berkelakar, Mustafa pun menyatakan bahwa secara fisik, kondisi ketiga wakil mereka di Pansus pun sehat semua.


PKS memiliki tiga orang wakil di pansus, yakni mantan Ketua Fraksi PKS, Mahfudz Siddiq, yang duduk sebagai Wakil Ketua Pansus; Wakil Ketua Komisi III, Fahri Hamzah; dan anggota Komisi XI, Andi Rahmat. Selama ini, mereka bertiga tidak pernah diganti atau dirotasi.


Mustafa pun meyakinkan, isu evaluasi koalisi pemerintahan SBY tidak berpengaruh apapun terhadap kinerja anggota pansus dari PKS. "Kami fokus pada content (substansi masalah)," ujar Mustafa. Ia menambahkan, semua proses dalam pansus dilakukan secara transparan dan terbuka, sehingga tidak perlu ada kekhawatiran terhadap pansus.


Sejauh ini, ada fraksi yang telah mengganti anggota pansusnya. Paling mencolok ialah Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa di mana mereka mengganti seluruh anggota pansusnya, yakni Wakil Ketua Komisi IV dan mantan anggota Komisi XI, Anna Mu'awanah; dan Ketua Fraksi PKB, Marwan Ja'far.

Read more »

PDIP paling MALAS , PKS paling PATUH

Sudah lewat satu bulan dari batas waktu, tapi masih banyak anggota DPR yang belum melapor harta kekayaannya kepada KPK. Fraksi PDIP menjadi fraksi yang paling malas melaporkan kewajibannya.

Dari 94 anggota Fraksi PDIP, baru 3 orang saja yang melaporkan ke KPK. Wakil Ketua KPK M Jasin menjelaskan hal tersebut di Gedung KPK Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan,(19/1/2010).

"Saya dengar sudah masuk ke sekretariat 61 orang. Saya imbau supaya teruskan ke KPK," jelas M. Jasin.

Fraksi PKS menjadi fraksi yang paling rajin. Dari 57 anggota, sudah 52 orang yang melaporkan ke KPK.

148 Anggota Fraksi Partai Demokrat, baru 60 orang yang melapor. 88 anggota Dewan masih mangkir dari tanggung jawabnya.

Setali tiga uang, Golkar juga lumayan memiliki anggota yang malas. Dari 106 anggota yang dimiliki di DPR, tercatat masih 75 anggota lagi yang belum melapor.

Ø Dari 46 anggota FPAN, baru 13 yang melapor.

Ø 26 Fraksi Gerindra baru 20 yang telah melapor.

Ø 17 Fraksi Hanura, 9 orang sudah melapor.

Ø 28 Anggota FPKB sudah 24 orang yang melapor.

Ø 38 anggota FPPP, baru 17 yang melapor.

"Dari 560 anggota Dewan, 331 belum melaporkan harta kekayaannya," tandas Jasin. detikNews

DARI JUMLAH FRAKSI YANG MELAPOR KELIHATAN FPDIP mempunyai itikad yang tidak baik, Jadi Anggota DPR seharusnya memberi contoh pada Rakyat.

Kalau pejabat publik dan wakil rakyat saja yang notabene katanya ingin memberantas korupsi dan ingin membela rakyat dan ingin bersungguh - sungguh memperbaiki kondisi bangsa masih enggan melaporkan jumlah hartanya kepada KPK, lalu bagaimana dia mau jujur sama bangsanya.

Atau barangkali yang tidak mau lapor karena sudah membawa pulang banyak uang tidak syah selama menjabat jadi wakil rakyat . Wallahu a'lam

Ya semoga saja para wakil rakyat segera sadar dan ingat bahwa mereka mewakili rakyat yang memilihnya untuk bisa membela yang dibawah bukan cari kekayaan pribadi.

Read more »

 

KABAR DPRa Cibugel

KIPRAH KEWANITAAN

KOLOM

Selamat datang di Situs Partai Keadilan Sejahtera - DPRa Cibugel , AYO BEKERJA UNTUK NEGRI.