Rabu, Juli 07, 2010

Al-Imtidad Ad-Da’wah


Oleh: KH. Hilmi Aminuddin, Lc.


Agar al-imtidadud da’awi (penyebaran pertumbuhan da’wah) semakin berpengaruh dalam perubahan, pembinaan, dansiyaghatu al-binaai al-ijtima’i (penataan struktur kemasyarakatan), tidak cukup hanya kita respon dengan al-imtidadu tanzhimi(penyebaran pertumbuhan struktur dakwah). Begitu pula agar struktur kemasyarakatan ini semakin dekat dengan siyaghatu al-binaai al-Islamiy (tatanan struktur masyarakat islami), tidak cukup hanya kita respon dengan al-imtidadud tanzhimi,memperluas dan memperlebar struktur kita.


Respon-respon structural itu harus ditindaklanjuti dengan al-imtidad at-tarbawi(pengembangan pembinaan). Hajman wa waznan, baik kapasitas ataupun bobotnya. Pengembangan tarbiyah yang sudah merupakan pekerjaan kita sehari-hari dan merupakan basis operasional, harus kita kembangkan kapasitas daya tampungnya. Sudah banyak yang menunggu untuk ditarbiyah. Sekarang tidak terbatas pada level mahasiswa, pemuda, atau akademisi. Para professional, pengusaha, praktisi bisnis, banyak yang menunggu untuk ditangani secara tarbawi. Sehingga kapasitas tarbiyah kita harus meningkat. Efeknya, tuntutan kepada pengembangan manhaj tarbiyah pun harus meningkat.


Pendekatan tarbiyah untuk pemuda dan mahasiswa berbeda dengan pendekatan tarbiyah kepada alim ulama dan mubaligh. Berbeda pula dengan para professional, praktisi bisnis, dan lain-lain. Oleh karena itu, fann at-tarbawi, penguasaan teknis operasional tarbiyah harus semakin meningkat. Agar kapasitas tarbiyah daya tampungnya semakin luas.


Untuk menjaga kapasitas, daya dan bobot tarbiyah, jangan sampai tarbiyah kita berkembang nuansanya menjadi ta’lim, apalagi tabligh. Karena ta’lim itu tazwidul ‘ilm(pembekalan ilmu), dan tabligh itu tazwidul ma’lumat (pembekalan informasi). Sedangkan tarbiyah merupakan tashihul aqidah, tashihul fikrah, tashihul akhlaq, dantashihul ‘ibadah. Sehingga bobot taujihnya harus sangat menyentuh mafatihul uqul, mafatihul qulub, wa mafatihun nufus. Harus membuka kunci-kunci jiwa, hati, dan akal manusia. Tarbiyah harus lebih menggugah, lebih berkesan, dan lebih membangkitkan. Sebab tarbiyah bukan talqinul ulum.


Lapisan pendukung dan simpatisan dakwah menunggu penanganan kita. Kalau mereka merasakannya sama dengan majelis ta’lim umum, bahkan naudzubillah dirasakan sama dengan dakwahtainment, maka itu tidak akan menghasilkan potensi dakwah. Ini harus ditata. Karena tarbiyah itu merupakan kerja pertama dan utama jama’ah dakwah kita untuk membangun potensi SDMnya.


Walaupun begitu, tarbiyah, sebagai upaya manusia, bisa saja—naudzubillah—terjadiinfilath tarbawi/falatan tarbawi. Artinya hasil tarbiyah yang tidak terkontrol. Hasil kerja keras dan pengorbanan kita, bisa saja natijahnya jelek. Tidak saesuai dengan yang kita inginkan. Infilat tarbawi biasanya berbentuk:

  1. Munculnya tasyaddud, sikap eksklusif, ekstrim, dan merasa benar sendiri. Ini harus dipantau. Padahal kita memiliki pandangan ijabiyah ru’yah (memandang sisi positif). Pada hakekatnya kebaikan itu ada di mana-mana. Cuma ada yang terkonsolidasi oleh kita dan ada yang belum.
  2. Bersikap kamaliyat (perfeksionis). Seolah-olah tarbiyah itu targetnya menciptakaninsan malaki, manusia berkualitas malaikat. Ini juga bentuk infilat tarbawi, bentuk penyimpangan.
  3. Bentuk infilath tarbawi yang lain adalah juz’iyyah. Hanya menukik di sector tertentu saja. Misalnya ruhiyah saja, sementara fikriyah kurang berkembang. Sehingga pertumbuhan cara berfikirnya ketinggalan. Tidak mampu menghadapi komunikasi fikriyah seperti yang kita jumpai di lapangan setelah musyarokah ini. Atau hanya menukik di bidang fikriyah atau siyasah saja. Padahal yang kita harapkan adalah tarbiyah yang integral dan terpadu.

Selain imtidad tarbawi, pertumbuhan dakwah kita juga menuntut imtidad tsaqofy. Kita harus belajar dan belajar, terus menerus. Kita harus mau membaca dan membaca. Baik bacaan yang tertulis di buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, radio atau TV. Juga membaca kehidupan masyarakat. Ini semua penting. Sehingga tsaqofah kita berkembang, tidak ketinggalan di segala sector.

Kita bergaul dengan mereka yang beraneka ragam keyakinan, beraneka ragam latar belakang ideology, pendidikan, budaya, dan bahkan kepentingannya. Supaya kita tidak gagap, kekurangan modal ketika menghadapi mereka, maka tsaqofah kita harus ditingkatkan. Bagi yang masih mempunyai kesempatan belajar formal, silahkan tingkatkan. Apakah S1, S2, S3, kalau ada S4 kita masuki. Bagi yang pendidikan formalnya sudah tertib, maka informalnya harus iqro’, terus membaca. Memang kalau kita tidak pandai memenej waktu, tazwidul tsaqafah (pembekalan wawasan) ini akan merosot.


Imtidad tsaqofiy—hazman waznan—
harus ditingkatkan. Apalagi ajaran Islam mengajarkan bahwa thalabul ‘ilmi itu minal mahdi ilal lahdi. Menuntut ilmu itu dari bauaian hingga liang kubur. Uthlubul ‘ilma walau bi shin. Walaupun di Cina. Padahal waktu itu dakwah Islam belum sampai ke Cina. Tapi kata Rasul carilah ilmu itu sampai ke negeri Cina.

Jama’ah kita ini, di mana pun, terkenal sebagai madrasah, di mana di dalamnya selalu belajar dan meningkatkan diri, sudah menjadi shibghoh yaumiyah, warna keseharian kita.


Imtidad fanni,
penguasaan teknik operasional sesuai bidang dan tugas kerja kita, baik kerja tanzhimiyah atau kerja professional. Penguasaan teknis secara lebih mengerucut sesuai dengan latar belakang tugas kita semakin penting.

Berikutnya adalah imtidad idari. Organisasi kita semakin besar, memerlukan manajerial yang tangguh. Sesuai dengan karakter organisasi jama’ah kita, adalah bukan karakter birokrasi, tapi karakter mutathowwi’in (sukarela). Oleh karena itu kita harus membagi pendelegasian wewenang, tugas-tugas secara lebih merata dan lebih meluas. Mungkin kalau dilihat dari sudut pandang birokrasi—perusahaan atau pemerintahan—organisasi kita amat bengkak. Karena kita ini tidak ada keterkaitan antara penugasan dengan standar gaji. Kalau pun ada, itu sifatnya hanya ta’awun. Itu pun jauh dari standar untukma’isyah. Karena kaitannya bukan ma’isyah, tapi lebih kepada muwasholah(penyambung) saja.


Karakter organisasi yang mutathowwi’in, sukarelawan ini, tugasnya harus terbagi. Kewenangan didelegasikan d I dalam bidang-bidang. Kalau ada pos-pos yang kurang berjalan, kita tingkatkan agar lebih mampu berjalan dan memikul tugas secara lebih baik. Bukan dengan cara ditekel/diambil. Kita berusaha untuk meningkatkan para penjaga pos agar bertugas secara bertahap. Agar terbagi secara baik, terlaksana melalui prosesta’awanu ‘alal birri wat taqwa. Ini karena tanzhim kita adalah tanzhim mutatowwi’in, bukan birokrasi.


Karakter organisasi lain, yang terkenal sibuk dan bekerja adalah ketua dan sekretaris. Di organisasi kemasyarakatan itu hal biasa. Mudah-mudahan, insya Allah, itu tidak akan merembes kepada kita. Kita sudah terbagi, semua bekerja, yang penting adalah tanasuq dzaatii. Singkronisasi antar komponen organisasi dalam bidang tertentu, dan singkronisasi antara bidang dengan bidang yang lain. Setiap potensi kader harus termanfaatkan. Dengan begitu semakin meningkat kapasitas, bobot, dan kompetensinya.


Selanjutnya al-imtidad al-iqtishodiy(perkembangan ekonomi). Sampai sekarang pembiayaan dakwah kita masih dalam level konvensional melalui tadhiyyah dari ikhwan dan akhwat, dari ta’awun ikhowi yang luar biasa. Tentu berkahnya tidak diragukan. Tapi kalau diakaitkan dengan tugas berat ke depan, pengembangan ekonomi dakwah harus semakin professional. Basis ta’awun dan tadhiyyah harus selalu terpelihara, karena itu adalah modal awal. Tapi kalau modal awal itu tidak berkembang menjadi professional, maka akan banyak pembiayaan-pembiayaan dakwah yang tidak tertangani secara konvensional.


Sudah barang tentu, Allahu Ghaniyyun Karim. Semua sumber kekuatan, termasuk sumber ekonomi adalah dari Allah SWT. Tapi Allah memerintahkan kita bekerja. Rasulullah SAW pernah melihat seseorang yang setiap hari nongkrong terus di masjid. Beliau bertanya, “Siapa yang member nafkah dia?”. Sahabat menjawab, “Saudaranya”. Kata Rasulullah: “Saudaranya itu lebih baik dari dia”.


Umar bin Khattab juga melihat fenomena serupa. Ada orang terus menerus berdo’a di masjid. Kata beliau, “Alaa ta’khudzu fa’san, litahtathibu?” Mengapa kamu tidak ambil kampak, agar kamu mencari kayu. “Fa innas samaa la tumthiru dzahaban wa la fidhdhoh”, sesungguhnya langit tidak akan pernah hujan emas atau perak. Allah akan menurunkan rizki—apalagi rizki untuk dakwah, yang penting kita tampil di hadapan Allah dengan kerja keras.


Sudah tentu ini untuk para ikhwan dan akhwat yang mempunyai bakat di bidangnya. Kalau tidak mempunyai bakat jangan di dorong-dorong. Karena ada dua kerugiannya: bisnis rusak, dakwah rusak.


Disinilah kemudian peran takaful-ta’awun. Kita bakatnya berbeda-beda. Ada yang tumbuh dengan bakat ekonomi, bakat politik, bakat budaya, bakat kerja di charity. Dari semua bakat yang tumbuh ini terjadi ta’awun dan takaful, saling menopang.


Rasa berbagi dari ikhwah yang sukses ekonominya kepada ikhwan yang menekuni bidang lain harus ditumbuh suburkan. Supoaya tidak aka nada komentar dari masyarakat, “Kasihan itu ustadz, dibiarin sama ikhwannya” Walaupun ikhwan akhwat itu ikhlas, tekun menekuni bidangnya walaupun tidak berefek secara ekonomi. Tapi masyarakat yang akan berkomentar. Banyakl komentar itu dating kepada saya. Biasanya selagi masih dapat saya tangani, saya akan tangani sendiri. Kalau tidak, biasanya saya transfer ke ikhwan lain. Tapi kita tentu tidak harus menunggu komentar dari masyarakat. Maka, ikhwah harus mempunyai semangat berbagi. Alhamdulillah, beberapa ikhwah yang ekonominya baik, mempunyai daftar kafalah untuk ikhwah lain. Kalau kebiasaan ini ditumbuh suburkan, Insya Allah semakin berkah dakwah kita.


Perkembangan ekonomi ini, baik kapasitas atau bobotnya harus meningkat. Dari dulu sering saya komentari, Alhamdulillah pertumbuhan ekonomi di liqo’at/halaqoh itu berkah. Tapi pasar itu lebih luas dari halaqoh. Ketika dating ke halaqoh ada yang bawa jilbab, yang ini bawa barang lainnya, insya Allah berkah. Tapi untuk ekonomi dakwah itu kurang. Salah satu yang dibangun Rasulullah SAW setelah hijrah itu adalah pasar. Maka semuanya harus seimbang anatara pertumbuhan tanzhimi, tarbawi, tsaqofi, fanni, idari, dan iqtishady.


Berikutnya adalah factor ijtima’i. Komunikasi social kita harus diperluas. Dalam hal komunikasi social, tidak perlu memakai taqwim nukhbawi (ukuran kader). Kita perluas komunikasi social kita, lintas partai, jama’ah, agama, dan etnis. Kita lakukan komunikasi secara luas. Karena keragaman atau pluralitas itu adalah fitrah. Rasulullah SAW juga mengembangkan hubungan secara luas. Bahkan ada komunikasi social yang jarang terungkap dari sirah nabawiyah, yang disampaikan Abu Bakar Shiddiq. Ketika menjadi khalifah pertama, beliau sangat memperhatikan kebijakan dan kebiasaan Rasulullah SAW.


Salah satunya, ternyata Rasulullah SAW melakukan komunikasi yang sangat baik dan akrab dengan seorang Yahudi yang buta matanya. Setiap pagi Rasulullah SAW datang mengantar roti dan susu. Orang Yahudi ini sudah tua dan giginya ompong. Kalau diberi roti yang kering dan ada air, roti itu dicelupkan. Kalau tidak ada, dikunyahkan Rasulullah, setelah itu disuapkan kepada orang Yahudi itu. Peristiwa itu hanya diketahui Abu Bakar.

Begitu Rasulullah wafat, Abu Bakar menggantikannya. Karena Yahudi ini buta, ia tidak tahu pada Abu Bakar. Ketika Abu Bakar menyuapkan roti, Yahudi itu berkata, “Siapa kamu?” Abu Bakar menjawab, “Saya biasa datang setiap pagi”—maksudnya menemani Rasulullah. Orang Yahudi berkata, “Tapi rasanya tidak begini, dia lebih halus dan lebih hangat”. Abu Bakar pun menangis.Ini adalah komunikasi lintas agama, dan itu merupakan bentuk riil dari rahmatan lil alamin. Sampai orang Yahudi pun menikmati Islam dalam keyahudiannya. Orang Kristen menikmati Islam dalam kekristenannya.


Walaupun entitas non muslim minoritas di Indonesia, tetap harus terjangkau oleh komunikasi social. Di lingkungan umat Islam diperkokoh. Jangan terhambat oleh beda yayasan, beda organisasi, beda partai. Kita harus terbuka. Kalau mereka mulutnya usil kepada kita, kita maafkan. Karena kita kader dakwah. Kadang-kadang ada organisasi yang terkontaminasi oleh kepentingan partai tertentu, lalu usil kepada kita. Maka kita harus lebih dewasa meresponnya. Tidak perlu terprovokasi oleh sifat-sifat yang kita yakini bukan sifat asli dari organisasi itu. Sekedar terkontaminasi, terkotori oleh kepentingan partai tertentu. Kita jangan mudah terpancing untuk kemudian ketus atau menjadi cuek kepda organisasi itu. Mereka tetap ikhwan kita, saudara kita seiman.


Alaqoh ijtima’i diperluas. Agar kehadiran kita diterima secara baik oleh seluruh komponen masyarakat, lintas partai, agama, dan organisasi. Kalaupun masih ada resistensi, itu bagian kecil dan biasanya berwarna ideologis politik.

Dalam berkomunikasi, prinsipnya, “sayyidul qaumi khadimuhum”, selalu berkhidmat. Dalam Islam, khidmat itu sampai ke tingkat “tabassumuka fi wajhika li akhika laka shadaqah”. Murah senyum, ramah, santun, itu merupakan modal dasar bagi komunikasi social kita.


Ini bagian dari tanhidiyah kita menuju mihwar daulah. Agar tingkat resistensi kehadiran kita di tengah-tengah pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara semakin kecil. Karena masyarakat melihat realitas fenomena kesantunan, keramahan, dan keterbukaan kita dalam komunikasi, insya Allah resistensi itu semakin mengecil, ia akan selalu ada, tapi akan bisa kita kurangi.


Berikutnya. Imtidad siyasi. Ruang lingkup komunikasi politik harus diperluas. Kemampuan berkomunikasi politik sangat besar pengaruhnya. Komunikasi politik itu mencari kemungkinan-kemungkinan di tengah ketidakmungkinan. Mencari titik temu bersama. Kita kelola dengan baik, supaya tidak ada benturan yang tidak perlu. Kita memerlukan peluang dan ruang pertumbuhan. Untuk menjamin keamanan, ruang dan peluang pertumbuhan, kita harus mengurangi komplikasi-komplikasi politik dengan pihak manapun agar kita mencapai posisi yang aman, bahkan sampai ke posisi dominan. Peluang-peluang kita terbuka banyak. Itu harus kita manfaatkan untuk lebih mengokohkan dakwah dan memperbesar dakwah.


Terakhir, imtidad i’lami. Pertumbuhan di sektor media massa. Memang beberapa factor yang mencuat dan dianggap kendala adalah pembiayaan. Tapi ‘ala kulli hal, masalahi’lam (media) ini perlu dikemas secara baik. i’lam yang paling mendasar dalam gerakan dakwah ini adalah performance dari setiap diri kita. Setiap kita harus memancarkansum’ah thayyibah (aroma yang baik) bagi jama’ahnya. Itulah modal dasar i’lam.


Di tahun 50-an Sayyid Qutb pernah didatangi banyak aktivis Islam. Mereka mengeluh tentang i’lam. Ada yang berbicara kurang modal, ada yang berbicara masalah keamanan. Ada yang mengeluh majalah-majalahnya sering dibredel, diberangus, dicabut izinnya, atau kantornya digerebek. Sayyid Qutb berkata, “I’lam asasi adalah anfusuhum”. Media utama adalah diri kader itu sendiri.


Mengelola i’lam ini terkadang gamang. Apakah ini tidak termasuk riya, apa tidak merusak zuhud kita, merusak tawadhu kita?


Kalau kita mengumumkan hal-hal yang terkait dengan pribadi, milik kita atau orang lain secara pribadi, itu baru bermasalah. Tapi kalau terkait dengan kepentingan public, yang kita kerjakan, itu justru diperlukan. Untuk merangsang orang lain mengikuti, membantu, dan mendukungnya. Sikap-sikap kita yang membela umat harus ditampilkan. Bahkan itu bisa wajib, karena mendukung eksisistensi dakwah kita, pertumbuhan dakwah kita.


Faktor-faktor tadi secara simultan bergerak, tumbuh, mutawazin, berkembang. Insya Allah dakwah ini bukan hanya berkembang, tapi pengaruhnya, suaranya mudah didengar. Komentarnya mudah diikuti. Kritiknya mudah diterima. Karena kapasitas dan bobottanzhimi, tarbawi, tsaqofy, fanni, idari, iqtishady, ijtima’i, siyasi, dan i’lamiterkelola, terkemas secara baik, simultan dan seimbang.


Insya Allah ini akan menjadi modal agar dakwah dan jama’ah kita berpengaruh. Jika berbicara didengar, Jika bertindak terasa.


Insya Allah jama’ah dakwah kita semakin berbobot. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan taufiq, ri’ayah, inayah. Memberikan tamkin kepada kita. Sehingga semakin mendekatkan diri kita kepada ridha Allah sampai pada li i’lai kalimatillahi hiyal ‘ulya.


Read more »

Menimbang Dukungan untuk Keterbukaan PKS

Jajak Pendapat Kompas
Senin, 21 Juni 2010 | 02:57 WIB

Oleh BI PURWANTARI

Komitmen Partai Keadilan Sejahtera untuk mengubah diri menjadi partai terbuka disambut dengan dukungan cukup berimbang oleh publik, antara yang menerima dan menolak. Respons cukup positif terhadap perubahan ini tidak saja tecermin pada penilaian masyarakat terhadap citra partai, tetapi lebih dari itu, juga tampak dari kesediaan sebagian publik untuk masuk menjadi anggota.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan partai berasaskan Islam yang pendiriannya terkait dengan pertumbuhan aktivitas dakwah Islam sejak periode awal 1980-an. Gerakan dakwah ini berbasis di masjid-masjid kampus. Dalam perkembangannya, aktivitas dakwah ini menjalar pula ke masyarakat umum, bahkan ke kalangan pelajar dan mahasiswa di luar negeri, baik Eropa, Amerika, maupun Timur Tengah. Persaudaraan (ukhuwah) yang dibangun dengan corak ideologi Islam yang kuat menjadi sebuah alternatif cara hidup di tengah-tengah masyarakat perkotaan yang cenderung semakin individualistik (Litbang Kompas, ”Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009”, 2004).

Perubahan politik pada 1998 mendorong para aktivis dakwah ini untuk merumuskan secara lebih konkret upaya peraihan cita-cita mereka. Pendirian partai politik yang berorientasi pada ajaran Islam perlu dilakukan untuk mencapai tujuan dakwah Islam. Partai Keadilan pun dideklarasikan di Jakarta pada 9 Agustus 1998. Tak perlu waktu lama, pada Pemilu 1999, Partai Keadilan yang menjadi cikal bakal Partai Keadilan Sejahtera menduduki peringkat ketujuh dari 48 partai politik peserta Pemilu 1999 dengan perolehan suara 1.436.565 atau 1,36 persen. Sayangnya, peringkat ketujuh dan perolehan suara sebanyak itu tak mampu meloloskan Partai Keadilan dari ambang batas perolehan suara untuk bertahan pada pemilu berikutnya.

PKS pun didirikan pada 20 April 2002 untuk melanjutkan kiprah politik dakwah warga Partai Keadilan. Dalam waktu lima tahun, partai ini berhasil menduduki peringkat keenam dalam perolehan suara nasional dengan proporsi suara 7,34 persen pada Pemilu 2004. Bahkan, di DKI Jakarta, ia mampu menjadi partai pemenang mengalahkan partai-partai besar lainnya.

Kelas menengah kota

Memiliki basis pengikut di kalangan kelas menengah perkotaan, partai ini memperoleh suara tertinggi pada Pemilu 2009 dibandingkan partai berbasis massa Islam lainnya. PKS memperoleh 7,89 persen dari total suara sah, sementara Partai Amanat Nasional hanya memperoleh 6,01 persen, Partai Persatuan Pembangunan meraih 5,32 persen, dan Partai Kebangkitan Bangsa bahkan turun tinggal 4,94 persen.

Meski demikian, proporsi suara 7,89 persen ini juga bisa diartikan PKS belum maksimal memperbesar jumlah pengikutnya. Meskipun secara proporsi terdapat kenaikan dari 7,34 persen menjadi 7,89 persen, dalam jumlah suara justru menurun sekitar 200.000 suara dari semula 8,33 juta suara menjadi 8,21 juta. Ini berarti kesetiaan tinggi terhadap ideologi yang dianut belum berhasil memperbesar partai. Atas dasar kondisi tersebut, pada Musyawarah Nasional II yang berlangsung 16-20 Juni 2010, PKS berketetapan untuk mengubah target dan membuka diri bagi masuknya semua kalangan masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim.

Dukungan berimbang

Gaung keterbukaan yang menggema keras dalam Musyawarah Nasional II ini juga disambut antusiasme sebagian publik. Antusiasme tersebut ditunjukkan dengan menyatakan bersedia menjadi anggota PKS apabila partai ini berubah menjadi partai terbuka. Hal ini terekam dalam jajak pendapat yang diselenggarakan Litbang Kompas pada 16-18 Juni 2010. Dari 702 responden jajak pendapat, proporsi responden yang menyatakan bersedia menjadi anggota dengan yang tidak bersedia cukup berimbang, masing-masing 43,2 persen menyatakan bersedia, sementara 43,0 persen lainnya menolak menjadi anggota jika partai ini berubah menjadi partai terbuka.

Meski demikian, respons publik yang berimbang ini akan tampak sebagai dukungan positif menjadi anggota apabila dikaitkan dengan pilihan partai politik responden pada Pemilu 2009. Jajak pendapat ini mengungkapkan bahwa pemilih partai-partai lain ”mungkin” akan bergabung dengan PKS apabila keterbukaan jadi diterapkan. Di antara responden yang sebelumnya memilih Partai Demokrat, terdapat proporsi 43,4 persen yang menyatakan bersedia menjadi anggota PKS apabila partai ini menjadi partai terbuka. Kesediaan responden itu juga berlaku untuk konstituen dua partai besar lain, yakni Golkar (34,2 persen) dan PDI-P (42,9 persen).

Akan tetapi, perubahan itu belum tentu menguntungkan apabila dilihat dari internal basis massa tradisional PKS. Perubahan tersebut disikapi dengan penolakan sebagian dari konstituen PKS sendiri. Jajak pendapat ini mencatat bahwa di antara responden yang memilih PKS pada Pemilu 2009, terdapat 34,0 persen yang menyatakan akan hengkang dari PKS jika partai ini mengubah diri sebagai partai terbuka. Hal ini mudah dipahami, mengingat sejak awal pendiriannya, partai ini kental meniupkan roh keislaman kepada para kader dan anggotanya. Namun, dukungan dari 59,7 persen konstituen PKS untuk membuka diri cukup menjadi penanda bahwa langkah tersebut kini tetap bisa dilaksanakan meski perkembangan partai ke depanlah yang pada akhirnya akan menentukan kesetiaan.

Citra terbuka

Dukungan publik atas peralihan PKS menjadi partai terbuka tecermin pula dalam pola penilaian masyarakat atas penyelenggaraan organisasi partai. Berkaitan dengan perekrutan anggota, separuh responden (49,3 persen) menyatakan, PKS merekrut anggota secara terbuka. Bahkan, lebih dari separuh responden (62,0 persen) menilai, PKS saat ini pun sudah merupakan partai yang terbuka untuk semua agama. Pola penyikapan ini tak dimungkiri berkaitan dengan kenyataan bahwa PKS juga mempunyai pendukung dari kalangan non-Muslim, seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Lebih dari itu, PKS kini memiliki 20 anggota legislatif non-Muslim yang sebagian besar merupakan anggota DPRD di Papua.

Masih berkaitan dengan pengorganisasian partai, publik menilai, PKS merupakan partai yang terorganisasi dan solid. Penilaian ini dikemukakan oleh sebagian besar responden (80,2 persen). Soliditas para pengikut PKS dibuktikan oleh hasil survei Litbang Kompas menjelang Pemilu 2009 yang menyatakan bahwa terdapat hampir 77 persen konstituen PKS pada Pemilu 2004 yang waktu itu akan memilih kembali PKS pada Pemilu 2009.

Selain soal penyelenggaraan organisasi partai, penilaian cukup positif juga diberikan publik terutama yang berkaitan dengan identitas PKS sebagai partai berbasis massa Islam.

Dalam jajak pendapat ini terungkap bahwa separuh lebih responden (66,8 persen) tidak setuju apabila PKS disebut sebagai partai garis keras. Meski dinilai bukan sebagai partai garis keras, PKS dilihat oleh separuh lebih responden (57,8 persen) tetap memiliki identitas Islam yang kental. Karakteristik Islam yang kuat ini bisa jadi dihubungkan dengan ”stigma” yang kerap melekat bahwa perjuangan partai ini untuk menegakkan syariat Islam di negeri ini.

Dukungan ataupun penolakan responden jajak pendapat ini yang cukup berimbang terhadap rencana PKS mengubah orientasi partainya merupakan cerminan dari perdebatan yang masih berlangsung di tubuh PKS dalam menyikapi angin perubahan. (Litbang Kompas)


Read more »

 

KABAR DPRa Cibugel

KIPRAH KEWANITAAN

KOLOM

Selamat datang di Situs Partai Keadilan Sejahtera - DPRa Cibugel , AYO BEKERJA UNTUK NEGRI.