Kamis, Maret 24, 2011

DPR, Kekuasaan, dan Mafia Pajak


"...ini akan memunculkan kesan kuat bahwa upaya perbaikan akan selalu kalah oleh jaringan konspirasi terorganisasi dengan dukungan kekuasaan dan para anggota mafia yang memiliki kekuatan pendanaan..."
---
Oleh: Laode Ida
(Wakil Ketua DPD RI)

Rapat Paripurna DPR, Selasa (22/2) malam, berakhir dengan ”kemenangan tipis” pihak berkuasa. Voting terbuka atas usul hak angket untuk mengusut mafia pajak ditolak dengan posisi 266 (Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Gerindra, dan Partai Kebangkitan Bangsa minus Lili Wahid dan Effendy Choirie) berbanding 264 suara (Golkar, PDI-P, Partai Keadilan Sejahtera, dan Hanura).

Dengan hasil itu, upaya untuk secara terbuka membongkar para mafioso dan jaringannya yang hingga kini masih terus memperkaya diri dengan menggerogoti sumber pendapatan negara telah terbendung oleh kekuatan politik yang ditopang kuat barisan istana.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pastilah sedikit lega dengan dihentikannya manuver dari sebagian politisi Senayan itu.

Soalnya, kalaupun selanjutnya kasus mafia pajak ditangani oleh DPR (melalui panitia kerja atau panja-ed), dampak atau pengaruh politiknya pastilah tak sedahsyat melalui pansus hak angket yang bisa setiap saat mengganggu ”kenyamanan tidur” pihak penguasa, seperti yang pernah terjadi pada kasus hak angket Bank Century.

Maklum, skenario selanjutnya hanya akan ditangani oleh panitia kerja yang biasanya hanya terkait dengan urusan teknis dan rekomendasi kebijakan yang tindak lanjutnya bergantung pada derajat keseriusan pemerintah.

Mengundang kecurigaan

Sikap politik pihak Presiden Yudhoyono yang menolak pembentukan pansus hak angket mafia pajak pantas dipertanyakan. Sebab, yang semula menginisiasi atau menyuarakan perlunya kasus mafia pajak—bagian dari dampak pemeriksaan dan pernyataan Gayus Tambunan—adalah Partai Demokrat (PD). Akan tetapi, justru PD yang kini ngotot menolak.

Pertama, bisa jadi anggota Fraksi PD yang mendorong agar kasus mafia perpajakan diangkat menjadi hak angket DPR memang semula berniat baik membongkar kejahatan para mafioso yang rapi berjejaring dengan para penyelenggara negara.

Apalagi sedikit didorong oleh pernyataan Gayus Tambunan dan Staf Khusus Presiden Denny Indrayana yang mengisyaratkan beberapa perusahaan milik Ketua Umum Partai Golkar (Aburizal Bakrie) diduga mengemplang pajak.

Namun, sikap politik mereka dikoreksi oleh pimpinan partai yang lebih paham jejaring mafia pajak selama ini yang kemungkinan menyerempet elemen-elemen kekuasaan. Apabila diteruskan, hak angket justru bisa menjadi bumerang di samping menciptakan instabilitas politik yang bisa mengganggu ketenteraman kerja dan bahkan memperburuk citra pemerintahan Presiden Yudhoyono.

Lebih-lebih lagi, ternyata Gayus Tambunan—saat memberikan keterangan pers seusai divonis tujuh tahun penjara— mengaku ada rekayasa oleh Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dalam penyebutan nama Aburizal Bakrie oleh dirinya.

Kedua, ada kecanggihan dari kalangan mafia pajak yang bermain dan memengaruhi pimpinan parpol tertentu untuk memblokir upaya mengusut tuntas kejahatan itu. Dalam konteks ini, pastilah ada unsur transaksionalnya.

Apalagi memang para pengemplang pajak itu memiliki data tentang keterlibatan jaringan kekuasaan dalam kerja permafiaan, seperti yang pernah diungkap Gayus dan sejumlah pihak lain. Kalau semua ini terungkap, lagi-lagi bukan mustahil berdampak negatif terhadap pemerintahan Yudhoyono.

Negara antiperbaikan

Kalau dugaan kecurigaan ini terjadi, baik pihak penolak usul hak angket maupun penguasa yang mendukung sikap itu telah melindungi para mafia pajak dan jejaringnya di dalam birokrasi dan kekuasaan di negeri ini. Dengan kata lain, negara ini telah secara terbuka bersikap ”antiperbaikan dan antipenyehatan” diri lewat kekuatan di parlemen; sekaligus menghindarkan diri dari upaya perbaikan melalui gerakan dan kebijakan politik.

Sikap politik pihak penguasa seperti itu memang sangat ironis, kontradiktif dengan hakikat pemerintah yang seharusnya mendukung segala upaya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.

Apalagi terkait dengan pajak sebagai sumber utama penerimaan dan pembiayaan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan negeri ini.

Ini berarti, secara langsung atau tidak langsung, di satu sisi akan menghambat upaya pengoptimalan peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak (yang berarti juga menghambat penciptaan tercapainya kesejahteraan rakyat) dan di sisi lain membiarkan segelintir elite menimbun kekayaan melalui pengemplangan pajak. Tepatnya, para perusak negara akan dimanja secara politik dan oleh kekuasaan sehingga mereka bisa terus bebas menjalankan kebiasaan buruknya.

Kondisi seperti ini merupakan bagian dari preseden buruk dalam upaya pengelolaan pemerintahan yang baik, sebagaimana selalu dinyatakan Presiden Yudhoyono.

Bukan mustahil hal ini akan memunculkan kesan kuat bahwa upaya perbaikan akan selalu kalah oleh jaringan konspirasi terorganisasi dengan dukungan kekuasaan dan para anggota mafia yang memiliki kekuatan pendanaan. Inilah yang sungguh sangat memprihatinkan.

*sumber: KOMPAS cetak (Kamis, 24/02/11)
Read more »

Melangkah Bersama Kafilah Dakwah


Reporter: Abuhasan Surhim

Kata "ITTAQUU" اتقوا (bertaqwalah, takutlah) sudah dikenal bangsa Arab sebelum kehadiran Islam yang bermakna takut kepada binatang yang mematikan (kalajengking, ular, dll). Maka orang Arab akan sekuat daya untuk menghindarinya karena bahayanya.

Ketika Islam datang, Allah SWT juga menyeru bangsa arab dengan memakai kata "ITTAQUU" (takutlah) tapi dengan dua makna: (1-fase mekah, makkiyah) takutlah pada siksa Allah yang jauh "mematikan" (mengerikan, menyengsarakan tanpa batas waktu) maka untuk menghindarinya tiada lain kecuali dengan beriman; (2-fase madinah, madaniyah) seruan "ITTAQUU" yang ditujukan kepada orang-orang yang sudah beriman memiliki makna "takutlah tidak dicintai Allah" maka jalankan segala aturan-aturanNYA dan tinggalkan apa yang dilarang agar engkau mendapat cintaNYA, ketika Dia sudah mencintai hambaNya maka...

"Aku menjadi pendengarannya dengannya dia mendengar Aku menjadi penglihatannya dengannya dia melihat Aku menjadi tangannya dengannya dia bertindak Aku menjadi kakinya dengannya dia berjalan. Jika dia memohon kepadaKu maka Aku benar-benar akan memberinya dan Jika dia meminta perlindungan kepadaKu maka Aku benar-benar akan melindunginya“. (Hadits Qudsi)

Demikian uraian Ustadz Dudi Muhammad Rosyadi yang disampaikan dihadapan kader-kader ikhwan akhwat DPC PKS Piyungan pada acara Tastqif Kajian Ahad Pagi, Ahad 20 Maret 2011, yang bertempat di masjid Al-Ikhlas Sampakan Piyungan.

Beliau menguraikan ayat 102 surat Ali Imran:

يايهاالذين امنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن الّا وانتم مسلمون

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam".

"Ayat ini menegaskan bahwa kita harus punya 3 komitmen dalam hidup ini," ujar ustadz asal Bandung yang menetap di Yogyakarta ini.

"Pertama: Komitmen Iman. Kedua: Komitmen Taqwa. dan Ketiga: Komitmen islamisasi sisi-sisi kehidupan kita," lanjutnya.

"Kalau kita bisa berpegang teguh dengan tiga komitmen ini, maka kita akan tegar menghadapai berbagai tantangan kehidupan dan tantangan dakwah. Karena sesungguhnya tantangan dan cobaan yang datang dari luar takkan mampu menggoyahkan jalan dakwah kalau komitmen kita kuat. Ibarat tubuh yang sehat, fit, dan stamina tinggi, punya imunitas daya kekebalan tubuh bagus, maka berbagai virus penyakit tak bisa membuat kita sakit," tegas beliau sambil menyoroti kondisi dakwah yang memang sunatullahnya dan tabiatnya akan berliku, mendaki, panjang dan banyak rintangan kapan dan dimana saja.

"Kita terjun dalam kancah dakwah ini mau nyari apa sih? kan hanya mencari ridho Allah? bukan pangkat, harta, posisi, jabatan. Kalau orientasi kita benar maka kita takkan pernah kecewa, kita takkan kecewa walaupun sudah puluhan tahun berdakwah tapi tetap miskin sedang para yunior mendapat jabatan. Karena yang kita tuju adalah Allah dan Allah takkan pernah mengecewakan hamba-hambaNYA yang ikhlas berjuang di jalanNya. Dan kita sadar bahwa bergabungnya kita dalam jamaah dakwah dan turut sertanya kita berkontribusi bukan berarti kita telah berjasa bagi jamaah ini, tapi sesungguhnya itu semua adalah karunia Allah, itu semua adalah nikmat dari Allah yang telah memilih kita menjadi bagian dari kafilah dakwah yang penuh barokah ini," bergetar beliau berucap.

"Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: "Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar." (QS Al-Hujurat: 17)

Tak terasa waktu sudah menunjuk pukul 06.20. Sudah satu jam ustadz Dudi membersamai kader-kader PKS Piyungan di pagi yang penuh berkah ini. Kami pun makin mantap menatap jalan dakwah yang ujungnya adalah jannah. Kami makin tertunduk betapa sedikitnya kontribusi dibanding pahala yang menanti. Kami makin yakin betapa Allah kan selalu bersama di sepanjang jalan, di setiap kelokan, di setiap tanjakan, di setiap rintangan. LAA TAHZAN INNALLAHA MA'ANA.

Jangan pernah takut sesungguhnya Allah bersama kita, marilah wahai kader PKS Cibugel senantiasa kobarkan semangatmu untuk mendaki dalam jalan dakwah ini.

Perjalanan masih panjang siapkan bekal sebaik mungkin agar kita masih punya stamina sampai di puncak dakwah kita.
Read more »

Drama Konstitusionalisme PKS

Oleh: Margarito Kamis*
[Doktor Hukum Tata Negara]
---
PKS, sebuah partai produk reformasi, yang dimotori sejumlah orang-orang muda enerjik ini, gemilang mengambil posisi dalam drama angket Century setahun lalu. Belum lama ini publik Indonesia, bahkan dunia, kembali menyaksikan PKS mengambil posisi gemilang dalam drama DPR merencanakan penggunaan hak angket untuk membongkar mafia pajak. Sayangnya gagal.

Sebagai partai politik, PKS seolah mendemonstrasikan ke pada publik bahwa mereka tak perlu ditakuti, seperti ketakutan para pembentuk UUD Amerika, misalnya, James Madison, sang arsiteknya. Mereka seolah mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk menilai partai politik sebagai biang skandal dalam sebuah masyarakat bebas, seperti yang ditakutkan oleh James Madison. Justru yang dibuktikan adalah, seperti diakui Mansfield dalam melukiskan konstitusionalisme Amerika, partai politik memiliki andil dalam menyuburkan konstitusionalisme.

Pada awal Orba, Bung Hatta, wakil presiden Indonesia pertama ini, berencana mendirikan sebuah partai politik. Tetapi, rencana ini tidak mendapat restu dari pemerintahan Orba. Lalu, Masyumi, yang oleh Bung Karno diminta untuk membubarkan diri.

Padahal, Masyumi adalah sebuah partai politik yang oleh Daniel S Lev, ahli politik berkebangsaan Amerika yang menaruh minat begitu kuat terhadap politik hukum Indonesia, dihargai sebagai partai yang paling jelas perspektif konstitusionalismenya. Katanya, suatu saat di tahun 1967, tanpa Masyumi, pemerintahan baru tidak memiliki lawan tanding sepadan. Faktanya setelah fusi, partai dipaksa mengecil menjadi tinggal dua; PDI dan PPP. Golkar, kala itu tak mau disebut parpol. Tiga parpol inilah yang mewarnai Orba, sampai Orba jatuh di tangan demonstran.

Tidak ada cerita koalisi dalam pembentukan atau penyelenggaraan pemerintahan. Semuanya dikendalikan oleh Presiden Soeharto, yang tidak lain adalah bos besar Golkar. PDI dan PPP sejatinya selalu berada di luar gelanggang pemerintahan. Pemerintahan berjalan efektif. Karena, selain ke anggotaan DPR didominasi Golkar, pemerintahan Orba main kuda kayu kepada PDI dan PPP.

Promosi Konstitualisme

Itu sebabnya tidak sedikit orang, aktivis ataupun intelektual kampus, tua dan muda bahu-membahu mengampanyekan, dengan segala risikonya, kerinduan mereka tentang konstitusionalisme. Berbangsa dan bernegara tidak bisa diserahkan kepada kemauan satu orang atau sekelompok orang yang memegang kendali pemerintahan. Diatas semuanya, berbangsa dan bernegara harus dijiwai dengan nilai, semangat, dan perspektif-perspektif universal konstitusionalisme. Setelah diusahakan dan di bayar dengan harga yang begitu mahal, reformasi pun lahir. Keran konstitusionalisme terbuka. Lahirlah sejumlah partai politik, termasuk PKS.

Terlepas dari strategi atau taktik perpolitikan, perlahan tapi pasti, partai dengan orang-orang mudanya yang begitu energik ini, menyodorkan gelombang pasang konstitusionalisme yang lumayan mengasyikan. Mereka mengambil posisi gemilang dalam drama angket Bank Century.

Eksponen-eksponen mudanya, terlihat menguasai masalah dan mempunyai nyali konstitusionalisme, yang lumayan hebat untuk ukuran partai baru. Energi dan semangat yang sama kembali mereka demonstrasikan, menjelang drama rencana penggunaan angket pajak yang baru berakhir.

Karena konstitusionalisme masa lalu adalah konstitusionalisme ‘semau gue’, suka-suka penguasa, MPR yang mengubah UUD 1945 memastikan pertumbuhan konstitusionalisme dengan memberikan kekebalan hukum kepada anggota DPR, yang menggunakan kewenangan konstitusionalnya.

Itulah makna hak imunitas dalam UUD 1945. Memang MPR bukan menunjuk anggota DPR, melainkan DPR sebagai organ. Tetapi, ilmu hukum Tata Negara dimana pun sama dalam satu hal; organ tidak dapat menjalankan fungsinya tanpa fungsionaris. Kursi, meja, dan lainnya bukan fungsionaris DPR. Anggota DPR-lah fungsionaris DPR.

Eksponen-eksponen PKS cukup cekatan dalam mendemonstrasikan kisi-kisi konstitusionalisme. Cukup jeli mereka mengemas kisi-kisi konstitusionalisme dalam pergerakan politiknya. Pajak, karena urgensinya, sejak abad ke-18 pernah dijadikan dasar penentuan seseorang bisa ikut pemilu atau tidak. Pajak jadinya ber hakikat sebagai pantulan ke daulatan rakyat. Rakyat memilih siapa yang akan memerintah mereka, lalu rakyat pula yang membiayai mereka yang memerintah itu.

Menariknya, ditengah hiruk-pikuk efek angket pajak, PKS membuat lompatan dalam gelora konstitusionalisme. Penghargaan terhadap seni wayang, yang didemonstrasikan dalam arena mukernas di Yogya beberapa hari lalu, disamping penegasan partai ini sebagai partai terbuka, terasa elok dalam usaha menumbuhkan konstitusionalisme kita.

Sampai pada titik itu, semuanya oke-oke saja. Tetapi, PKS mesti berhati-hati memilih langkah konstitusionalisme dalam menyikapi isu pengisian jabatan gubernur DIY. Mengapa? Bukan soal adanya dua fenomena Yogya-Jakarta, yang sama-sama telah diketahui publik, cukup krusial, tetapi lebih dari itu. Isu konstitusionalisme dalam wacana pengisian jabatan gubernur DIY, antara penetapan dan pemilihan, begitu juga rencana penciptaan jabatan gubernur utama dengan gubernur, sungguh berimpitan problem konstitusionalismenya.

Untuk memastikan jalan indah dalam konstitusionalisme pengisian jabatan gubernur DIY, mungkin ada baiknya PKS menyelami perdebatan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18-19 Agustus 1945 perihal Kooti. Bahkan, tak ada salahnya bila turut ditelusuri perdebatan mengenai nama jabatan untuk provinsi, kabupaten, dan kota. Ada bagusnya bila ditelusuri penggunaan nama “istimewa”, yang berlanggam hukum untuk daerah Ngayogyakarta Hadiningrat.

Rasanya, eksponen-eksponen PKS tahu bahwa martabat partai ditentukan oleh martabat fungsionarisnya, dan martabat fungsionaris ditentukan oleh kokoh atau tidaknya, istiqamah atau tidaknya mereka pada prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara menurut nilai, semangat, dan perspektif konstitusionalisme. Diatas semuanya, benih konstitusionalisme yang telah dipromosikan, dan kini mulai mewabah serta tampak mulai mekar, rasanya terlalu mahal untuk tak dilanjutkan.

*sumber: Republika (02/03/11)
Read more »

Koalisi BUKAN Kooptasi

Oleh: Saldi Isra*

Banyak kalangan berpendapat, pembentukan Pansus merupakan batu ujian untuk menilai kesetiaan parpol terhadap hati nurani, terutama sebagai wakil rakyat. Khusus parpol dalam koalisi, pembentukan Pansus jadi batu ujian ganda antara kesetiaan terhadap hati nurani dan kesetiaan menjaga bangunan koalisi.

Dari perspektif apa pun, kekuatan-kekuatan politik harusnya menempatkan kepentingan yang lebih luas sebagai bagian pelaksanaan tugas-tugas konstitusional yang diamanatkan UUD 1945. Dalam konteks itu, menutup fakta-fakta yang terungkap dengan tujuan menjaga keutuhan bangunan koalisi dapat dikatakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat rakyat.

Sulit dibantah, pilihan politik mengutamakan menjaga bangunan koalisi akan memberikan dampak sistemik terhadap keberadaan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Selain membunuh harapan sebagian besar masyarakat untuk membongkar skandal sampai ke akar-akarnya, pilihan politik menjaga keutuhan koalisi dengan mengabaikan aspirasi yang berkembang berpotensi memperpanjang krisis kepercayaan kepada DPR.

Tidak hanya itu, ”menggadaikan” fungsi dan hak konstitusional dengan tujuan menjaga keutuhan koalisi dapat dinilai sebagai bentuk pengkhianatan atas UUD 1945. Padahal, saat dilantik, anggota DPR berjanji mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan.

Koalisi presidensial

Dalam sistem pemerintahan presidensial, koalisi jadi pilihan sulit. Namun, itu tak terhindarkan, terutama saat parpol yang mendukung presiden tak mendapatkan dukungan mayoritas di DPR. Bahkan, Scott Mainwaring (1993) menyatakan, pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk merupakan kombinasi yang sulit dan dilematis.

Namun, yang sering dilupakan, dalam sistem pemerintahan presidensial posisi legislatif tak dapat begitu saja tertakluk kepada eksekutif. Bahkan, sekalipun berasal dari parpol pendukung presiden, parpol di DPR tetap punya posisi politik yang berbeda dengan presiden. Karena itu, sulit dipahami jika sebagian kekuatan politik di DPR memosisikan diri sebagai pasukan berani mati pihak eksekutif.

Sekalipun eksekutif berupaya membangun koalisi, kekuatan politik di DPR seharusnya tak menggadaikan posisi konstitusionalnya. George C Edwards III dan Stephen J Wayne dalam Presidential Leadership: Politics and Policy Making (2002) menyatakan, dalam bangunan sistem pemerintahan presidensial partai politik di DPR tidak dapat begitu saja membenarkan semua tindakan pemerintah.

Jika semua tindakan yang dilakukan pemerintah dibenarkan, parpol di DPR sedang menggadaikan posisi sebagai pemegang kekuasaan legislatif terutama dalam pelaksanaan fungsi pengawasan. Dalam sistem parlementer sekalipun, tak semua kebijakan pemerintah dibenarkan oleh parpol pendukung eksekutif. Oleh karena itu, bangunan koalisi hanya dapat dibenarkan sepanjang tak menghancurkan fungsi pokok masing-masing lembaga.

Sekalipun ada yang menggadaikan idealisme lembaga legislatif, sebagian partai politik masih tetap berpendirian, jadi bagian koalisi bukan segala-galanya. Bagi mereka, menjadi bagian koalisi bukan masalah periuk nasi.


*Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

*sumber: KOMPAS cetak (Judul "Koalisi (Bukan) Periuk Nasi", edisi 25/2/10, ringkasan)

Lebih baik mengkhianati "koalisi" dari pada mengkhianati "rakyat" dan " umat" dalam kebenaran dan keadilan
Read more »

Sikap Resmi PKS Atas Tuduhan Mantan Kader

Berikut penjelasan Mahfudz Siddiq:

  • Sehubungan banyak yang meminta PKS memberi penjelasan soal #Yusuf Supendi, maka kami nyatakan bahwa yang bersangkutan (Ybs) saat ini tidak lagi anggota/kader PKS.
  • Ybs diberhentikan melalui SK DPP No 115/skep/dpp-pks/1430 tgl 29 okt 2009, setelah melalui proses di DSP dan BPDO.
  • DSP adl Dewan Syariah Pusat yg saat itu berfungsi sbg Mahkamah Syariah. DSP adl lembaga tinggi partai selain DPP dan MPP.
  • BPDO adl Badan Penegak Disiplin Organisasi, organ DPP untuk penegakan AD/ART PKS thd kader/anggotanya.
  • Proses di DSP dan BPDO thd Yusuf Supendi mengikuti mekanisme dan prosedur baku, oleh pimpinan dan anggota-anggota secara kolektif.
  • Keputusan pemberhentian dari keanggotaan partai hanya untuk kasus pelanggaran berat, setelah sebelumnya melewati peringatan 1 dan 2.
  • Dengan keputusan pemberhentian tsb, maka sejak tgl 29 okt 2009, PKS secara institusi tdk lagi terikat hak dan kewajiban dgn Ybs.
  • Untuk menjaga kehormatan ybs, PKS tidak akan menjelaskan perkara yang menyebabkan Yusuf Supendi diberhentikan.
  • Penjelasan atas perkara ybs hanya disosialisasikan terbatas. Tidak untuk seluruh kader apalagi publik.
  • Dalam proses di DSP dan BPDO juga diproses semua aduan-aduan Ybs, seperti yg sekarang diangkat ke media dan publik.
  • Jadi ketika Ybs sekarang membuka masalahnya ke publik, silakan ybs sendiri mengklarifikasi kebenarannya.
  • Jadi harap dimaklumi jika kami tidak akan banyak komentari urusan ini. Kami akan berusaha keras menjaga kehormatan dan menutup aib saudara kami sendiri, yg lama telah berkiprah di PKS.

Salam ta'zim.

Lebih baik salah dalam berprasangka baik, dari pada benar dalam berprasangka buruk

Read more »

Rabu, Maret 23, 2011

Hidayat: Sejarah Akan Mencatat Konsistensi PKS


Anggota Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid tidak mempersoalkan apabila partainya dianggap telah melanggar kesepakatan dengan Presiden dan sebagai konsekuensinya dikeluarkan dari koalisi.

“Kalau kemudian PKS dianggap tidak sejalan dan dikeluarkan, sejarah yang akan menilai. Apakah memang yang lebih baik itu tetap berada dikoalisi atau justru tetap konsisten menegakkan hukum dengan memberantas mafia pajak sekalipun risikonya harus berada di luar koalisi,” ujar mantan Presiden PKS itu kepada wartawan di Gedung DPR RI Rabu (3/3/2011).
Read more »

7 Arahan Ustadz Hilmi Aminuddin

Situasi yang kita hadapi sekarang adalah mata rantai dari ujian-ujian dakwah sebelumnya. Adalah sunatullah bahwa akan ada terus rekayasa untuk mengkerdilkan dakwah. Namun yang penting adalah bagaimana kemampuan kita untuk membuktikan dengan kerja nyata.

Kita sebagai dai dan daiyah diperintahkan oleh Allah SWT jika menghadapi sesuatu yang sulit, yang menghimpit, cepat kembali kepada Allah (fafirruu ilallah..). Kemudian selesaikan dengan mentadabburi konsep Allah. “Afala yatadabbarunal Qur’an am ‘ala quluubin aqfaluha.”

Dari tadabur ayat-ayat Allah ini, maka dalam menghadapi berbagai masalah, ancaman dan makar, maka kita harus memiliki bekalan-bekalan yakni:

(1) Atsbatu mauqifan (menjadi orang yang paling teguh pendirian/paling kokoh sikapnya)

  • At-Tsabat (keteguhan) adalah tsamratus shabr (buah dari kesabaran).
  • Famaa wahanuu lima ashobahum fii sabiilillahi waaa dhoufu wamastakanuu…
  • “…mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah. Allah menyukai orang-orang yang sabar…” (3:146)
  • Keteguhan itu membuat kita tenang, rasional, obyektif dan mendatangkan kepercayaan Allah untuk memberikan kemenangan kepada kita.
  • Keteguhan sikap kadang-kadang menimbulkan kekerasan oleh karenanya perlu diimbangi dengan yang kedua.

(2) Arhabu shadran (paling berlapang dada)

  • Bukan paling banyak mengelus dada.
  • Silakan bicara tetapi silakan buktikan.
  • Jika tidak ada lapang dada akan timbul kekakuan.

(3) A’maqu fikran (pemikiran yang mendalam)

  • Mendalami apa yang terjadi.
  • Jangan terlarut pada fenomena, tetapi lihatlah ada apa di balik fenomena tsb.
  • Ketika kita merespon pun akan objektif.
  • Respon-respon kita objektif, terukur, mutawazin (seimbang).
  • Pemikiran yang mendalam kadang-kadang membuat kita terjebak pada hal yang sektoral, maka harus segera diimbangi pula dengan yang bekal keempat:

(4) Ausa’u nazharan (pandangan yang luas)

  • Temuan sektoral perlu dicari.

(5) Ansyathu amalan (paling giat dalam bekerja)

  • Sambil merespon sesuai dengan kebutuhan tetap kita harus giat bekerja.
  • Orang-orang tertentu saja yang menangani, selebihnya harus terus bergerak dalam kerangka amal jamai. Energi kita harus prioritas untuk membangun negeri.
  • Bekerja untuk Indonesia di segala sektor, struktur sampai tingkat desa, dan kader-kader yang mendapat amanah di pemerintahan. Fokuskan semua bekerja.

(6) Ashlabu tanzhiman (paling kokoh strukturnya)

  • Kita jamaah manusia, ada kekurangan, ada kesalahan. Kita harus rajin membersihkannya. Seorang muslim ibarat orang yang tinggal di pinggir sungai dan mandi lima kali sehari. Jika sudah begitu, pertanyaannya: “Masih adakah daki-daki kita?”
  • Allah berfirman “wa qul jaal haq wa zahaqal bathil”. Secara fitrah jika al Haq muncul, maka kebatilan akan lenyap, oleh karena itu teruslah hadirkan al Haq dan mobilisir potensi kebaikan. Jika kita lengah mendzohirkan al-haq maka kebatilan yang tadinya marjinal akan tampil dan al-haq terbengkalai.
  • Hidup berjamaah adalah untuk memobilisir potensi-potensi kebaikan.

(7) Aktsaru naf’an (paling banyak manfaatnya)

  • Khoirunnas anfa’uhum linnas.
  • Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.
  • Buktikan bahwa jamaah ini banyak manfaatnya sehingga berhak mendatangkan pertolongan Allah dan pertolongan kaum Mukminin.

Jika tujuh hal itu dilakukan untuk menghadapi tantangan dan rekayasa, insya Allah dakwah ini akan semakin kokoh dan semakin diterima untuk menghadirkan kebajikan-kebajikan yang diharapkan oleh seluruh bangsa.

*Disampaikan dalam Acara DPW PKS Jabar di Lembang, 19 Maret 2011
Read more »

Selasa, Maret 22, 2011

Kritik Hidayat Nurwahid Terhadap PKS


Munas PKS yang berlangsung Juni 2010 lalu, di Hotel Ritz Carlton, salah satu keputusan yang terpeting, bahwa PKS menjadi 'Partai Terbuka'. PKS tidak lagi menjadi partai yang sifatnya 'eksklusif', tetapi menjadi partai yang 'inklusif'. Terbuka bagi seluruh golongan bangsa.

PKS mengubah jargonnya yang sudah melekat dikalangan kader dan umat, yaitu bersih, peduli, dan profesional, menjadi 'Partai Pekerja'. Karena itu, di spanduk-spanduk yang terpampang di Jakarta, bunyinya, seperti : "Bekerja Untuk Indonesia Adalah Ibadah", atau ada :"Mari Bekerja Untuk Jakarta".

Secara perlahan dan jelas, terjadi perubahan yang mendasar, dari sikap dan orientasi PKS, yang dulunya merupakan metamorfose dari PK (Partai Keadilan), yang menjadikan dakwah, sebagai 'ruh' dalam berpartai dan berpolitik, perlahan-perlahan, mulai ditinggalkan.

Sementara itu, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nurwahid, yang hadir di dalam acara refleksi akhir tahun 2010, yang dihadiri para pengurus PKS, Luthfie Hasan Ishak (Presiden PKS), Anis Matta (Sekjen PKS), Untung Wahono (Ketua MPP), dan sejumlah pengurus lainnya, menegaskan bahwa PKS harus kembali ke jati dirinya sebagai partai dakwah, ucapnya.

Dalam siaran pers DPP PKS yang diterima, Senin (27/12), Hidayat mengatakan, kembali ke jati diri PKS sebagai partai dakwah adalah sumber loyalitas kader dan konstituen untuk menghindari gejala deparpolisasi atau menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap parpol.


Pernyataan Hidayat Nurwahid itu, menanggapi hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang disampaikan Burhanuddin Muhtadi dalam Refleksi Akhir Tahun 2010 PKS yang diselenggarakan di Hotel Shaid Jakarta, Minggu (26/12).

Burhanuddin juga menyampaikan catatan LSI mengenai tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu yang cenderung terus mengalami penurunan. Pada Pemilu 1999, jumlah pemilih tercatat sebanyak 92 persen, pada 2004 tercatat 84 persen dan pada Pemilu 2009 menurun lagi menjadi 71 persen.

Menurut mantan Ketua MPR RI itu, karena prinsip Islam bersifat universal, maka perlu diterjemahkan dalam program aksi yang konkret untuk kepentingan seluruh rakyat, sehingga fungsi dan kiprah partai bisa dirasakan.

Pertanyaannya, ketika Allah Swt memberi "kemenangan" bagi perjuangan PKS dalam menyuarakan aspirasi politik umat Islam, apakah para aktivisnya tetap istiqomah dalam memperjuangkan Islam?

Adakah ketika para "Pejuang Politik" Islam ini telah "diberkahi" dengan kekuasaan dan kekayaan, apakah mereka masih istiqomah dalam memperjuangkan Islam?

Ketika para Ustadz dan Murabbi pengusung "Da'wah Politik" Islam ini telah menjadi pejabat publik, baik anggota DPR-DPRD, Gubernur, Walikota atau tokoh-tokoh politik, masihkah mereka istiqomah dalam memperjuangkan Islam?

Masihkah mereka istiqomah menyuarakan Islam, jargon-jargon perjuangan Islam, simbol-simbol Islam dan nilai-nilai Islam?

Masihkah mereka setia pada para "Mad'u" yang mereka ajak untuk memperjuangkan Islam dengan mengatasnamakan da'wah Islam?

Sekarang, benarkah para aktivis da'wah ini masih istiqomah dalam perjuangan Islam? Pertanyaan ini menjadi semakin keras disuarakan umat, terutama para kader dan simpatisan, di antaranya:

- Aktivis PKS jarang terdengar -atau bahkan tidak terdengar lagi- menyuarakan PKS sebagai Partai Dakwah. Mereka bahkan mulai menggunakan istilah "PKS Partai Terbuka" untuk menggantikan "PKS Partai Islam".


- Simbol-simbol sebagai aktivis da'wah Islam mulai pudar. Lagu-lagu Nasyid yang mengiringi acara seremonial telah berubah menjadi lagu-lagu pop, gambar perempuan-perempuan berjilbab digantikan wanita-wanita yang memperlihatkan auratnya, bahkan wajah-wajah para Ustadz semakin klimis karena mencukur jenggotnya sampai habis.

- Wacana-wacana Islam yang dulu digembar-gemborkan telah berubah menjadi wacana-wacana yang sarat bernuansa nasionalisme. Apakah para Ustadz itu lupa bahwa nasionalisme merupakan derivat dari ash-shabiyyah yang berujung pada menomorduakan Islam?

- Untuk memperoleh dukungan luas, mereka mengembangkan koalisi yang dijustifikasi dengan bahasa Arab "musyarakah". Banyak kepentingan Islam yang harus dikorbankan, salah satunya adalah "jangan menyuarakan Islam secara terang-terangan".

Tentunya para aktivis PKS akan menyatakan bahwa mereka masih tetap istiqomah dalam memperjuangan Islam. Para kader dan simpatisan juga berharap begitu. Karena itu, seruan Hidayat Nurwahid -mantan Presiden PKS- ini sudah menjadi relevan.

Apa yang disampaikan Hidayat Nurwahid tentu bukan hal yang biasa. Apalagi di tengah hingar-bingar politik negeri ini parpol yang menyebut dirinya Partai Islam atau berbasis masa Islam kurang menunjukkan warna keislamannya dengan jelas

sumber : eramuslim.com

Read more »

Laporan ke KPK Salah Alamat


Jakarta-PKS memandang apa yang dilakukan mantan Wakil Ketua Dewan Syariah PKS telah dipecat Yusuf Supendi sebagai hal yang biasa-biasa saja. “Adalah hak setiap warga negara untuk melaporkan apa-apa yang secara subyektif dianggapnya salah. Aparat penegak hukum tentu akan memprosesnya secara profesional dan obyektif.”

Ketua Fraksi PKS DPR RI Mustafa Kamal menyampaikan hal tersebut menyikapi langkah Yusuf Supendi melaporkan sejumlah pimpinan PKS ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (21/3) di Jakarta. Hanya Mustafa berpendapat langkah yang diambil oleh Yusuf Supendi salah alamat. Karena sepengetahuan dia, KPK hanya menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan penyimpangan uang negara atau terkait dengan pejabat negara.

Sementara para pimpinan PKS yang dilaporkan itu tidak mempunyai kasus menggelapkan atau mengkorupsi uang negara. Pandangan Yusuf Supendi tersebut besar kemungkinan dipengaruhi oleh kekecewaannya pada keputusan Badan Penegak Disiplin Organisasi (BPDO) PKS yang menjatuhkan vonis pemecatan terhadap dirinya. Keputusan tersebut dijatuhkan karena yang bersangkutan melakukan tindakan indispliner. “Beliau mungkin merasa sebagai pendiri partai dan masuk dalam jajaran pimpinan tertinggi partai. Kita tentu tetap menghargai jasa-jasa beliau, terutama kiprahnya di Dewan Syariah Pusat. Tetapi demi masa depan, disiplin partai harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Resiko dari sikap tegas ini kita akan kelola dengan sebaik-baiknya” katanya.

Menurut Kamal, dalam melaporkan suatu kasus korupsi ke KPK, paling tidak harus mempunyai mencakup beberapa unsur, seperti adanya surat, pengakuan, saksi yang menguatkan, dan alat bukti. Hal tersebut diyakini Kamal tidak dimiliki secara utuh oleh Yusuf.

Mengenai laporan Yusuf ke Badan Kehormatan (BK), Kamal masih menunggu perkembangan dari aduan tersebut. “Kami masih menunggu tindak lanjut dari BK. Partai akan menyikapi jika memang bukti yang dituduhkan lengkap,” ujar Kamal.

Aktivitas Yusuf Supendi, imbuh Kamal, tidak memengaruhi soliditas partai. Ketua DPP PKS Bidang Kebijakan Publik ini sudah mendapat laporan dari wilayah-wilayah bahwa kader tetap solid dan meyakini bahwa apa yang terjadi hanya fitnah yang dilakukan pihak yang tidak senang atas pertumbuhan PKS.

“Fitnah itu artinya cobaan. Jadi kami tidak menuduh pihak manapun dalam hal ini. Cobaan atau ujian ini insya Allah akan menguatkan partai sekaligus para kader PKS untuk semakin giat bekerja untuk kemaslahatan,” tutup Kamal.

Read more »

Senin, Maret 21, 2011

Hidayat Berharap Kasus Yusuf Tak Berkembang Menjadi Fitnah

Indra Subagja - detikNews


Jakarta - Hidayat Nurwahid ingin kisruh di PKS segera selesai. Dia berharap jangan sampai konflik yang diledakkan Yusuf Supendi terkait partai yang pernah dia pimpin itu berkembang menjadi liar dan buruk untuk umat.

"Saya berharap tidak ada permasalahan karena kemudian bisa menjadi fitnah," kata Hidayat saat dihubungi detikcom, Sabtu (19/3/2011).

Dia yakin, kisruh yang menimpa adalah ujian bagi PKS, dan semua partai pernah mengalaminya. Tentu bola yang dilempar Yusuf diharapkan bisa segera dituntaskan struktur partai.

"Partai lain juga ada (konflik internal -red) dalam bentuk yang berbeda-beda. Dan urusan ini menjadi tantangan bagi pimpinan partai untuk bisa menyelesaikan," tambah mantan Presiden PKS ini.

Dia juga menegaskan, kasus Yusuf ini sepenuhnya ditangani Presiden PKS Luthfie Hasan Ishaaq dan Sekjen PKS Anis Matta. Jajaran DPP PKS akan menyelesaikannya sesuai aturan yang ada.

"Sepenuhnya itu sesuai mekanisme, aturan, dan etika partai," tuturnya.

Sebelumnya Yusuf menyampaikan uneg-unegnya. Dia berharap PKS bisa kembali ke dasar awal organisasi. Dia berharap Hidayat Nurwahid bisa memimpin gerakan itu. Yusuf sebelumnya menuding Luthfie melakukan ancaman kepada dia juga melakukan pemecatan yang tidak sesuai aturan partai.

Yusuf Supendi adalah salah seorang pendiri Partai Keadilan. Dia menjadi anggota DPR dari FPKS periode 2004-2009. Di DPR, Yusuf Supendi pernah menjadi anggota Komisi X, sekaligus anggota Badan Legislasi DPR.

Yusuf Supendi pernah menjabat anggota Majelis Syuro PKS periode 2000-2005. Dia juga pernah menjabat anggota Dewan Syariah PK/PKS periode 2000-2005.

Sejumlah petinggi PKS melawan tudingan Yusuf. Apa yang dilakukan Yusuf disebut sebagai fitnah. Dia disebut sakit hati karena dipecat dari PKS. "Itu fitnah," kata Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminudin saat dihubungi wartawan.

(ndr/lh)
Read more »

 

KABAR DPRa Cibugel

KIPRAH KEWANITAAN

KOLOM

Selamat datang di Situs Partai Keadilan Sejahtera - DPRa Cibugel , AYO BEKERJA UNTUK NEGRI.