Jumat, April 17, 2009

Multi Partai Bikin Berantakan Negara?

Indonesia bergerak dari titik ekstrim ke titik ekstrim yang lain. Dari pemerintahan sebelumnya, dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, menganut sistem yang sangat tertutup, dan otokratis (menindas), serta despotis. Itu yang dipraktekan oleh Orde Baru, selama lebih tiga puluh. Dan, ada yang menilai merasa lebih enak hidup di zaman Orba, dibandingkan hidup di zaman sekarang ini.

Seperti disebutkan dalam al-Qur’an, kehidupan di dunia selalu akan dipergilirkan, dan tidak ada yang kekal selama-lamanya. Soeharto yang seakan sudah menjadi ‘Raja di raja’, akhirnya harus meninggalkan kekuasaan di tahun l998, akibat ketidak puasan rakyat yang memuncak. Rejim sebelumnya yang memerintah, yang mendapat gelar ‘Orde Baru’ itu, digantikan sebuah orde lainnya, yang kemudian dikenal dengan orde : Reformasi. Tentu, harapan rakyat menginginkan perubahan kehidupan, karena rakyat memahami : ‘Reformasi’, yang tak lain adalah dari kata : ‘Reform’, perbaikan, atau perubahan yang menuju kepada kehidupan yang lebih baik dari kondisi sebelumnya.

Mungkin, kalau boleh dikatakan, satu-satunya ‘kebaikan’ Orde Reformasi ini, adalah adanya kebebasan. Indonesia, mungkin hanya satu-satunya negara yang paling bebas, yang kebebasannya melebihi negara manapun di dunia yang menganut sistem demokrasi. Setiap warga negara dapat secara bebas, mengekspresikan dan mengaktualisasikan hak-hak dasarnya secara penuh, tanpa adanya restriksi (pembatasan). Sampai-sampai saking bebasnya di Indonesia yang menghina agama dan keyakinan agama pun, bisa bebas. Tidak mendapatkan sanski hukum. Contohnya, seperti kelompok Ahmadiyah, dan munculnya berbagai aliran agama, dan pemikiran, serta adanya nabi-nabi baru, yang mereka bisa hidup bebas, dan banyak juga pengikutnya.

Tapi, di zaman Orde Reformasi ini, yang paling penting harus digarisbawahi, yaitu kehidupan politik di Indonesia, yang benar-benar bebas. Tidak ada pembatasan terhadap aktivitas politik. Orang melakukan aktivitas apa saja diboleh dan diizinkan, tidak dilarang. Presiden SBY, menegaskan setiap warga negara bebas mengekspresikan aktivitas politiknya, selama tidak destruktif (merusak). Maka, sekarang sejak Orde Reformasi ini, aktivitas apa saja ditolerir, tidak ada lagi yang dibatasi, dan hal-hal yang membuat restriksi (pembatasan), semua telah ditiadakan. Sekarang, berbagai kelompok dalam masyarakat, bebas untuk mengekspresikan hak-hak dasar mereka, di mana saja dan kapan saja. Tidak ada larangan.

Era Orde Reformasi ini dimulai di zaman Presiden Habibi. Presiden Habibi yang lulusan sekolah teknik di Jerman, dan ahli pembuatan pesawat terbang ini, benar-benar menjadi sebuah ‘antitesa’ dari Orde Baru, meskipun Habibi itu menganggap Soeharto sebagai ‘gurunya’. Tapi, nampaknya pepatah yang sudah lazim dikalangan masyarakat tidak berlaku bagi Habibi ini, yaitu ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’. Habibi sebagai murid Soeharto, tidak mengikuti jejak dan langkah gurunya Soeharto, tapi ia menjadi sebuah ‘antitesa’ dari Soehato, khususnya dalam hal berkaitan dengan pemberian hak-hak dasar warga negara, tentang kebebasan. Di zaman Habibi inilah segala hal yang membatasi hak-hak dasar warga negara dihapus.

Orang bisa mendirikan partai politik secara bebas. Tidak ada pembatasan. Dan, yang membatasinya adalah rakyat ketika pemilu. Jadi, kalau sebuah partai politik berdiri dan ikut pemilu, tidak mencapai ‘threshold’, itulah satu-satunya yang membatasi bagi kelompok warga negara dalam melakukan aktivitas politik. Di era Habibi ini, dimulai UUD'45, yang disakralkan Soeharto, diamandemen, sampai empat kali, yang kemudian, benar-benar berubah secara mendasar. Ini merupakan permulaan perubahan yang penting di zaman Habibi. P4, yang menyatakan Pancasila sebagai ideologi tunggal juga dihapus.

Maka, ketika awal Orde Reformasi di bawah Habibi itu, yang namanya partai politik, ibaratnya seperti cendawan di musim hujan. Tumbuh menjamur. Jumlahnya puluhan. Sampai sekarang. Bahkan, sekarang ini ada yang menggelikan, yang namanya partai politik itu, bukan lagi menjadi alat perjuangan, yang tujuannya memperjuangkan cita-cita, idelogi, keyakinan, dan kepentingan rakyat, tapi partai politik sudah menjadi alat untuk mencari ‘makan’ bagi para pengurusnya. Mirip ‘warung’ soto.

Zaman susah, karena krisis, justru orang berlomba-lomba mendirikan partai poliltik. Karena, sudah terjadi apa yang disebut ‘mutualisma – simbiosa’, antara tiga kekuatan, yaitu para pemilik modal, pemimpin partai, dan kekuasaan. Ketiganya saling bekerjasama. Pemimpin partai mengumpulkan massa, pemilik modal mengeluarkan uang, dan kekuasaan memberikan perlindungan politik. Dan, ketika mereka sudah berkuasa, tinggal membagi yang namanya ‘kue’ kekuasaan.

Di pemilu 2009, tak kurang yang ikut berpesta demokrasi, lima tahunan ini, jumlahnya 38 partai politik. Jumlah yang tidak sedikit. Biaya yang dihabiskan hampir mencapai 200 trilyun. Untuk biaya partai-partai, mulai dari bikin iklan di media, baliho, panflet, poster, spanduk, stiker, dan mobiliasi masa, memberikan ‘hadiah’, dan untuk acara kampanye. Pemerintah mengeluarkan dana lewat APBN, jumlahnya juga tak sedikit, sebesar 21.7 trilyun. Semuanya, digunakan untuk kepentingan pemilu. Negara yang megap-megap akibat krisis membuat 'pesta' demokrasi yang biayanya selangit, sementara orang mlarat, semakin terhimpit.

Celakanya, pemilu yang sekarang ini, jumlah golputnya yang lebih banyak dibanding dengan yang memilih. Sehingga, partai pemenang Demokrat, yang mendapatkan suara 20.3, sementara golputnya mencapai 45%, tapi jumlah golput ini dari pemilih. Jadi, hakekatnya rakyat yang memilih itu lebih kecil lagi. Sedih, sudah biaya besar, tapi tak menghasilkan perbaikan dan perubahan. Apalagi, kualitas tokoh-tokoh yang akan masuk Senayan, tak dikenal kamampuan dan integritasnya, dan sebagian para artis. Lebih-lebih lagi, pemilu kali ini disinyalir terjadinya kecurangan. Maka, semakin tipis legitimasi hasil pemilu kali ini. Dan, yang lebih penting pemilu 2009 ini, tak akan menghasilkan perubahan kepemimpinan nasional. Karena prediksinya yang akan terpilih SBY lagi, sebagai presiden yang akan datang. Jadi tak ada perubahan.

Mengapa banyak partai atau multi partai? Kalau karakternya sama, ideologi sama, cita-citanya sama, tujuan sama, platformnya sama. Lalu, apa sesungguhnya yang membedakan diantara mereka, tidak ada, paling-paling hanyalah tanda gambar partai. Mengapa harus banyak partai. Ini semata-mata hanyalah kepentingan-kepentingan para politisi dan organisator,yang memang mereka ingin menikmati kekuasaan, yang dengan cara itu, mereka mendapatkan penghormatan, menaikan harga diri, mendapat kemuliaan, mendapatkan berbagai privielege (hak-hak istimewa), yang semuanya tidak mungkin, kalau mereka tidak memiliki kekuasaan. Dan, inilah logikanya, jadi bukan ingin memperjuangkan rakyat.

Maka, partai-partai politik menjadi alat yang paling ampuh untuk meniti ke jalan kepada kekuasaan. (root to powers) secara cepat dan instan. Orang-orang rela berkorban apa saja, dan melakukan apa saja demi mendapatkan kekuasaan . Karena, konstitusi yang ada sekarang di Indonesia, memberikan aturan, di mana hanya melalui satu-satunya jalan, melalui partai politik orang dapat berkuasa, sekarang setiap orang yang mengalami obsesi kekuasaan, pasti akan digesah mendirikan partai poliltik dan berlaga dalam pemilu.Tapi, justru adanya parlemen dari hasil pemilu yang bebas ini , tidak selalu akan membawa perbaikan dan kebaikan bagi kehidupan nasional bangsa.

Justru di era Orde Reformasi ini, asset negara habis dijual, dan undang-undanng yang memberikan keleluasaan kepada asing masuk ke dalam kepentingan nasional Indonesia tak terbatasi lagi. Belum lagi mental yang menerabas, yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang dan kekuasaan. Sudah berapa banyak anggota perlemen yang meringkuk di hotel ‘prodeo’, tak terhitung akibat makan sogok. Kebejatan dan kerusakan semakin parah, dan tak ada lagi yang namanya ‘fatsoen’ (etika) politik.Semuanya serba boleh. Tak larangan dan yang haram,semuanya menjadi ‘halal’.

Tapi, yang paling getir di era multi partai ini, di mana bukan hanya banyaknya partai politik , yang menyedihkan terjadinya disharmoni social, keluarga, rusaknya nilai-nlai ukhuwah, disharmoni di masyarakat, dan antara kelompok. Semua ini ekses dari pemilu multi partai. Konflik bukan hanya antar partai politik, tapi juga di internal partai, yang saling berebut kursi, sejak adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), di mana yang berhak menjadi anggota legislative bukan lagi berdasarkan nomor urut, tapi berdasarkan suara terbanyak.

Maka, kompetisi tidak hanya antar partai politik, tetapi juga diinternal partai,mereka saling berebut. Inilah yang akhirnya menghancurkan harmoni sosial didalam kehidupan masyarakat. Ekses ini tidak dapat diselesaikan dalam bilangan bulan. Apalagi, yang kaitannya dengan utang-piutang. Seperti, diberitakan dari Bandung, sebuah perusahaan koveksi yang membuat 'kaos' belum dibayar, nilainya mencapai 10 milyar rupiah. Dan, kasus seperti ini sangat banyak. Maka, mengurai kasus-kasus pasca pemilu ini, bertambah banyak. Ujungnya akan terjadi kehancuran dalam kehidupan masyarakat. Belum yang mengalami stress (sakit jiwa) akibat tidak dapat masuk Senayan, dan bahkan sudah ada yang bunuh diri.

Tentu, ada kisah yang menarik, seorang ibu yang menjadi tokoh partai tertentu, karena pendukungnya ibu-ibu anggota majelis taklim, di mana rata-rata mereka sudah tua, sehingga, mereka kesulitan memilih, dan tidak dapat memilih dengan tepat. Sehingga, ibu yang menjadi caleg, itu akhirnya kalah, karena anggota majelis taklim yang umumnya sudah tua, tidak dapat memahami pilihannya.

Kisah, lainnya, seorang nenek yang sudah berumur 76 tahun, sebelum masuk ke dalam bilik TPS, sudah diberitahu oleh anaknya untuk memilih Partai Golkar, tapi karena nenek itu, kesulitan memilih, justru yang dipilih Partai PDS. Sehigga di TPS itu yang memilih PDS terdapat tiga orang. Lalu, siapa yang memilih partai yang berlambang ‘Salib’ itu, salah satunya adalah nenek, yang salah pilih. Inilah ironi demokrasi multi partai.
Wallahu ‘alam.
Read more »

Pemilu Terburuk Sepanjang Sejarah

Assalamualaikum warahmatullah,

Melihat carut marut politik negeri kita yang cukup memprihatinkan, seperti halnya banyak tokoh yang telah berkomentar, beberapa point skeptis dari saya:

Melihat golput dengan jumlah besar 45%, mengapa hal ini tidak terprediksi sebelumnya? apakah tidak diadakan survey sebelumnya? Jika sudah mengapa masih juga dilaksanakan Pemilu, yang akhirnya hanya akan membentuk citra buruk bagi legitimasi pemerintah?

Sudah puluhan triliun digelontorkan untuk biaya pemilu, mengapa harus diadakan pemilu ulang untuk kepentingan demokrasi dan politik? Kalo harus diulang, kenapa anggaran pemilu sebesar ini tidak digunakan saja untuk layanan kesehatan dan pendidikan gratis, bahkan hanya menjadi beban anggaran negara?

Adanya kecurangan dan kesalahan mengapa sepintas hanya dimaafkan dan berlalu dengan tidak adanya proses hukum yang tegas dan dijabarkan sebelumnya?
Mengapa kesalahan administratif seperti pengolahan DPT tidak dikategorikan sebagai sabotase/kriminal dalam pemilu?

Mengapa KPU dan KPUD juga masih ikut memilih? Ini ibarat wasit yang juga ikut bertarung di arena.
Apakah demikian bisa dikatakan independen, yang sejak dahulu terus dilaksanakan?

Apakah dengan pemilu 'ala negara Pancasila; dengan modal yang sangat besar ini akan menjamin perbaikan kehidupan bangsa kita? Atau hanya sekedar ritual demokrasi yang harus dipuaskan dan dikorbankan?

Itu semua terlepas perundangan dan konstitusi kita, buatan manusia, banyak salah, dan tidak sempurna.

Wassalam,
Martin Adhie
Read more »

Rabu, April 15, 2009

KPU Validasi DPT Pilpres

KOTA – Komisi Pemilihan Umum Kota Tangerang akan melakukan validasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilihan Umum Presiden yang akan dilangsungkan Juli mendatang.
Validasi akan dimulai pada tanggal 10 April sampai dengan tanggal 10 Mei. Ketua KPU Kota Tangerang, Imron Khamami mengatakan validasi dilakukan untuk mencegah kejadian pada saat Pemilu Legislatif beberapa waktu lalu. Dimana banyaknya DPT yang tidak terdata. "KPU tidak mau kecolongan.
Untuk itu kami akan melakukan kegiatan validasi DPT diseluruh kecamatan yang ada dikota Tangerang. Kita akan lakukan validasi dan pendataan kembali untuk kebutuhan Pilpres. Sehingga nama-nama yang belum terakomodir dalam pileg kemarin, mereka dapat melakukan aspirasinya dalam Pilpres” ungkapnya.
DPT Pileg terdahulu menurut Imron akan dijadikan Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pilpres dan nantinya akan dimutakhirkan kembali oleh Petugas Pemuktahirkan Data Pemilih (PPDP) yang diantaranya adalah RT dan RW. Dalam tugasnya PPDP harus memenuhi kriteria yang ditetapkan KPUD dalam mendata DPT.
Diantaranya adalah mencatat pemilih yag belum terdaftar, mendata pemilih pemula yang berumur 17 tahun sebelum tanggal 8 Juli, perubahan status dari TNI / Polri menjadi masyarakat umum atau masyarakat umum yang menjadi TNI / Polri, dan yang terakhir adalah nama-nama yang meninggal dunia.
Semoga saja KPU tidak hanya bicara saja tapi bekerja. Karena seperti kita ketahui KPU dari pemilu ke pemilu dari pilkada ke pilkada selalu bicara pemutakhiran serta update DPT tapi kenyataan dilapangan selalu saja bermasalah. Masyarakat sudah cerdas tidak perlu bualan tapi perlu realisasi dilapangan. Berapa banyak biaya dianggarkan dari pemerintah untuk pendataan ulang tapi anggaran sudah keluar pendataan tidak ada , lalu kemanakah anggaran tersebut larinya ?
Kalau saja semua berpikir dan bekerja sesuai tugas dan fungsinya dan tidak selalu serakah dalam melihat anggaran mestinya pihak KPU bisa bekerja sama dengan perangkat desa/lurah dan staf dibawahnya .
Wong RT/RW itu kadang tidak diberi apa - apa saja kalau di minta bantuan dibantu kok, trus kesusahannya itu apa sebenarnya. Apakah KPU nya saja yang malas ?
Semoga kedepan sistem pemilu tidak carut marut lagi. Semua orang tidak mau dipersalahkan tapi jangan juga seenaknya sendiri.
Read more »

Kantor DPC PDIP Kota Tangerang Dirusak Massa

TANGERANG- Kantor DPC Kota Tangerang yang terletak di Ruko Moderland blok R4 RT 03/01 Kelurahan Kelapa Indah Kecamatan Tangerang dirusak sekelompok orang yang tidak dikenal.
Aksi pengerusakan yang dilakukan sekitar pukul 19.30 Wib tersebut diduga belum dibayarkannya sisa jatah uang operasional para saksi yang menurut informasi baru dibayarkan 50% , sementara sisanya setelah menyerahkan formulir C1.
Berdasarkan informasi sekelompok massa tersebut tiba-tiba marah dan langsung menyerang dan memecahkan kaca depan kantor DPC.
Mereka juga masuk dan merusak peralatan kantor di ruko berlantai dua tersebut yang kebetulan dijaga oleh satu orang. Seketaris DPC Kota Tangerang, Marais Galing mengatakan perusakan kemungkinan akibat dari kebijakan partai soal pembagian sisa uang saksi. "Mungkin mereka mempertanyakan sisa uang tersebut, namun karena emosi mereka melakukan pengerusakan,"katanya.
Marasi mengatakan sisa uang saksi tersebut sebenarnya baru dibayarkan setelah proses pendataan selesai dilakukan. Namun ia enggan menyebutkan berapa besar sisa uang yang belum dibayarkan tersebut.
"Mungkin kebijakan partai kemudian mereka menghancurkan kantor,"ucapnya lagi . Sementara itu Kasat Reskrim Polres Metro Kota Tangerang, Kompol Budi Herdi Susyanto mengatakan belum mengetahui motif pengerusakan tersebut. Namun ia mengaku sudah mengantongi identitas pelaku perusakan. Dan hingga kini lokasi sudah dijaga oleh aparat kepolisian setempat. Bahkan sudah dilakukan garis policeline di kantor tersebut.
Sesuai informasi dari beberapa sumber bahwa untuk mendapatkan kekurangan tersebut saksi harus menyerahkan formulir C1 dari TPS dimana ia ditempatkan jadi saksi. Menurutnya bahwa tugas saksi tidak hanya menyaksikan jalannya pemungutan suara dan penghitungan suara melainkan lebih dari itu harus memberikan bukti data yang syah yaitu formulir C1 yang telah diisi lengkap dan ditanda tangani oleh KPPS beserta para saksi dari parpol lainnya, sehingga hal tersebut bisa dijadikan bukti otentik jika terjadi kecurangan - kecurangan dalam rekapitulasinya nanti.
Contoh saja para saksi dari Partai Keadilan Sejahtera, mereka bisa mendapatkan sekalipun harus nunggu sampai selesai penghitungan suara sampai dini hari.
Read more »

Koalisi Parpol : Golkar Bersatu dengan Demokrat, PKS Masih Pikir-pikir

Usai gegap gempita pemilu legislatif, partai politik aktif melakukan manuver politik untuk membangun koalisi. Dari hasil perhitungan pusat Tabulasi Nasional KPU, Partai Demokrat menempati urutan teratas, posisi ini membuat Partai Golkar yang merupakan pemenang pemilu legislatif 2004 untuk berfikir ulang melanjutkan kembali koalisi yang sudah dibangun bersama dengan Partai Demokrat. Meskipun, sejak awal partai berlambang beringin ini tetap berupaya untuk menempatkan Jusuf Kalla sebagai capres.

"Wacana yang menguat sekarang partai golkar harus realistis. Melihat keadaan pasca pemilu untuk maju sebagai capres sebagaimana yang sempat diusulkan oleh DPD satu seluruh indonesia, saya kira perlu dipertimbangkan kembali," kata Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (14/4).

Seperti diketahui, pada Senin (13/4) Jusuf Kalla mendatangi SBY ke kediamannya di Cikeas, Bogor, dan melakukan pertemuan selama lebih dari setengah jam. Namun, Agung belum mengetahuinya dan belum membicarakan hal ini dengan JK. Ia mengakui bahwa sudah ada kesepakatan Ketua Umum Partai Golkar untuk melakukan komunikasi politik atau untuk melobi kembali Demokrat.

"Terutama arahnya ke Partai Demokrat karena pasangan Golkar dan PD sudah terbentuk sejak 5 tahun lalu dan chemistry sudah ada secara kelembagaan," jelasnya.

Untuk capres sendiri, lanjut Agung, partai Golkar belum memutuskannya, hal itu akan diputuskan dalam rapimnas pada tanggal 23 April mendatang, sebab untuk menentukan soal capres itu harus melihat hasil pemilu legislatif.

Ketika ditanya tanggapan mengenai ancaman PKS menarik koalisi dengan Partai Demokrat, jika Partai Demokrat bersanding dengan Partai Golkar.

"Kami belum membahas soal itu. Sebaiknya jangan dibiasakan ancam mengancamlah, biasa-biasa saja," kata Agung.

Sementara itu, Selasa (14/4) siang bertempat Jl. Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat dikediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri, 10 tokoh politik dan tokoh nasional mengadakan silaturahmi. Dalam pertemuan itu selain membicarakan tentang berbagai persoalan pada pelaksanaan pemilu 9 April lalu. Pertemuan tokoh-tokoh politik yang diantara dari Partai Gerindra, PBB, PBR, dan Partai Hanura ini dilakukan untuk menjajaki koalisi politik. (nov)
Read more »

Selasa, April 14, 2009

PKS dan Masa Depan Politik Indonesia


Dari hasil pemilu 2009 ini sudah dapat menilai arah politik Indonesia. Pembagian kekuatan politik berdasarkan hasil perolehan suara, menunjukkan tiga partai, Demokrat, Golkar dan PDI, mempunyai share yang cukup besar sekitar 50 persen dari total suara. Ketiga partai yang leading berdasarkan perolehan suara ini, dapat dipastikan akan menentukan arah dan dinamika masa depan politik Indonesia.


Berdasarkan pengamatan yang ada memperlihatkan tingginya tingkat dinamika dikalangan partai-partai pasca pemilu ini. Dari pemetaan yang ada menunjukkan arah politik, sudah mengerucut menjadi dua kutub, yaitu kubu Mega dengan kubu SBY. Mega dan SBY masing-masing menjadi lokomotif, yang akhirnya ditentukan dalam pilpres yang akan berlangsung di bulan Juli nanti. Siapa yang bakal memenangkan pertarungan di pilpres nanti?


Dari awal kalau melihat kecenderungan berdasarkan hasil polling yang dilakukan oleh seluruh lembaga suvei, tidak akan ada sirkulasi (perubahan) kepemimpinan di Indonesia, dan nampaknya SBY akan tetap leading, jika nantinya di pilpres menghadapi Megawati. Masyarakat akan memilih SBY, yang memiliki gaya kepemimpinan yang relative ‘soft’ (santun), tidak banyak melakukan kontroversi, meskipun selama lima tahun ini, tidak banyak progress yang dihasilkan pemerintahan SBY, khususnya dalam menghadapi situasi krisis, dan upaya yang dapat mengeluarkan Indonesia dari problem krisis ini.


Memang, saat menjelang pemilu, usai Partai Demokrat menyelenggarakan Rakernas di Jakarta, yang berlangsung di Pekan Raya Jakarta, sempat menimbulkan keratakan hubungan antara SBY-JK, yang dipicu pernyataan Ahmad Mubarok, salah satu ketua Partai Demokrat, yang menyinggung Partai Golkar, yang memprediksi perolehan suara Partai Golkar hanyalah 2.5 persen dan menyebabkan ketersinggungan fungsionaris Partai Golkar, mendorong Wapres Jusuf Kalla menarik diri dari ‘hubungan’ politiknya dengan SBY. Selanjutnya, Rapim Golkar memutuskan memajukan JK menjadi calon presiden dalam pemilu mendatang. Meskipun, pernyataan Ahmad Mubarok itu, buru-buru diralat oleh Presiden SBY dan Anas Urbaningrum, selaku Ketua Partai Demokrat, yang meminta maaf kepada Partai Golkar.


Menjelang pemilu yang lalu, ada kekawatiran Presiden SBY, akibat dari pecahnya ‘kongsi’ dengan JK dan Partai Golkar. Kemudian, Presiden SBY mengundang sejumlah pimpinan partai politik, tujuannya membangun basis kekuatan politik melalui koalisi. Presiden SBY tidak ingin kehilangan momentum politik, akibat dari pecahnya ‘kongsi’ dengan JK dan Partai Golkar. Selebihnya, mendekatnya pemilu 2009, adalah sebuah pertaruhan politik, yang tentu harus dimenangkan, karena faktor perolehan suara Partai Demokrat ini, yang menjadi kendaraan Presiden SBY, sebagai ‘single’ faktor yang harus dimenangkan, agar dirinya memiliki legitimasi untuk maju sebagai calon presiden di pilpres nanti. Di Cikeas hadir tokoh-tokoh partai dari PKS, PKB, dan PAN,mereka bertemu dengn Presiden SBY.


Tentu, dari awal yang menginginkan pecahnya ‘kongsi’ SBY-JK ini adalah PKS. Karena, asumsinya Partai PKS, di dalam pemilu 2009 ini, berhasil mencapai target 20 persen suara, dan akan meningkatkan posisi politiknya, yang memberi peluang kepada kader PKS, menggantikan posisi JK sebagai capres, dan bersanding dengan SBY, di pilpres mendatang. Meskipun, secara dramatik, usai JK pecah ‘kongsi’ dengan SBY itu, para pimpinan PKS mengundang JK melakukan kunjungan ke kantor DPP PKS di Warung Buncit. Dan, ketika berlangsung pertemuan antara JK dengan Presiden Partai PKS, Tifatul Sembiring yang didampingi Dr.Hidayat Nurwahid, sambil ketiganya mengangkat tangan menyatakan kesediannya untuk membangun sebuah koalisi politik.


Tapi, kunjungan Wapres Jusuf Kalla ke kantor DPP PKS di Warung Buncit itu, tidak mempunyai umur panjang, sampai menuju ke sebuah koalisi politik. Karena, tak lama, sebuah peristiwa baru telah muncul, di mana Ketua Majelis Syuro PKS, H.Hilmi Aminuddin Lc, bertemu dengan Presiden SBY di Cikeas, dan menegaskan adanya koalisi dan dukungan politik kepada Presiden SBY dan Partai Demokrat. Maka, sesungguhnya deklarasi politik yang berlangsung Warung Buncit itu, hanyalah menjadi sebuah ‘mujamalah’ (basa-basi) politik, yang tak mempunyai arti apa-apa. Dan, tentu PKS akan memilih berkoalisi dengan Partai Demokrat dan mendukung Presiden SBY, yang berdasarkan berbagai lembaga survei suaranya terus leading, dan mengungguli partai-partai lainnya.


Sebuah langkah politik yang sangat imajinatif, sudah dilakukan para elite PKS, yang sudah membayangkan bahwa PKS akan melakukan ‘take over’ kekuasaan di pilpres mendatang. Dengan asumsi PKS bisa ‘grow up’ secara signifikan suaranya melampaui kisaran 20 persen suara. Dengan jumlah suara ini, PKS akan menduduki urutan kedua, dan dapat menggeser Golkar dan PDI.


Asumsi yang sifatnya matematis ini, dan dengan keyakinan dapat tercapai, karena adanya dukungan mesin politik Partai PKS yang benar-benar ‘in’ untuk mendapatkan target politik, dan sudah terbayang,masa depan Indonesia pasca pemilu 2009 ini, Partai PKS bersama dengan Demokrat dan Presiden SBY akan mengelola negara secara penuh. Maka, sepanjang menjelang kampanye yang berlangsung telah beredar di berbagai daerah spanduk, baliho, dan stiker, yang bertuliskan : “SBY presidenku, dan PKS partaiku”.


Tapi, hasil pemilu 2009, sangat mengejutkan semua fihak, termasuk para pemimpin partai politik, betapa tidak, justru yang menjadi pemenang pemilu ini, tak lain adalah ‘Golput’, yang jumlahnya mencapai 45 persen suara. Meskipun, sebelum pemilu ‘Golput’ sudah dihantam habis, termasuk oleh ‘Fatwa’ MUI, yang melarang adanya ‘Golput’, tapi nampaknya tak mempan. Inilah yang menyuramkan ambisi dan imajinasi para pemimpin partai politik.


Semua angan dan keinginan menjadi teruji kembali. Apakah masih valid atau tidak sebagai sebuah keinginan atau cita-cita. Di mana Partai Demokrat yang paling tinggi suaranya hanya mendapatkan 20,32 persen, Partai Golkar mendapatkan suara 14.5 persen sedangkan Partai PDIP mendapatkan suara 14.2 persen. Jadi, Partai yang paling besar suaranya Partai Demokrat hanya 20 persen, dan dikalahkan oleh suara ‘Golput’ yang jumlah mencapai 45 persen. Implikasinya setting politik dan pola koalisi ke depan akan berubah kembali.


Di awal sudah dijelaskan pasca pemilu 2009 ini, sudah nampak pengkutuban partai-partai, melalui koalisi yang sudah berlangsung. Tiga partai politi, Demokrat, Golkar, dan PDIP, dan tokohnya SBY, JK, dan Mega, sudah sangat jelas ketiganya akan terlibat secara esensi dalam ‘power game’. Ketiganya, yang akan menentukan arah politik, dan bagaimana pola pertarungan politik yang akan datang, dan tentu dengan segala implikasinya. Termasuk pilihan politik mereka, yang berimplikasi kepada pola koalisi yang akan datang.


Persoalannya, pasca pemilu ini, pilihan-pilihan politik yang dilakukan SBY, JIK, dan Mega, ke mana arahnya? Tentu, yang menarik, apakah JK akan kembali ke SBY, dan apakah SBY mau menerima JK? Dari hitungan yang ada, SBY akan menerima kembali JK. Karena, lima tahun terakhir pemerintahannya, SBY ingin dikenang sebagai negarawan, dan mewariskan keadan yang baik, dan menerima penghargaan sebuah pemerintahan yang disebut dengan penuh ‘succses story’ oleh bangsa Indonesia. SBY pasti tidak ingin sesudah tidak menjadi presiden mendapatkan hujatan dan makian rakyat, karena kegagalannya.


Maka, asumsinya SBY ingin membangun pemerintahan yang kuat, dan mendapatkan dukungan parlemen, yang juga kuat. JK yang sekarang memimpin Golkar, dan sebagai wapres, pasti ingin meninggalkan jejak yang baik, keberhasilannya menyelesaikan konflik di Aceh, Ambon, dan Poso, harus ditambah dengan menyejaterakan rakyat. Selain, keduanya pasti ingin mewariskan partai yang masih dapat eksis di masa depan. Partai Golkar dan Partai Demokrat tetap eksis di masa depan. Dan, semua itu sangat tergantung dari tingkat hubungan SBY – JK, yang keduanya sebagai lokomotif partai, dan keberhasilannyas mengelola pemerintahan lima tahun mendatang.
Berdasarkan kepentingan kedua partai politik itu, Partai Golkar dan Partai Demokrat, yang sama-sama harus mempertahankan nilai-nilai strartegis yang mereka ingin capai, kemungkinannya, SBY-JK akan rujuk kembali dan akan membangun koalisi. Karena, tidak dapat dibayangkan, tingkat destruktifnya, ketika pemerintahan SBY, harus menghadapi oposisi politik yang dilakukan oleh Golkar dan PDIP, serta partai kecil lainnya? Pilihan yang paling realities ini, hanyalah pilihan yang sifatnya politis, yang harus dilakukannya.


Nampaknya, Golkar sendiri tak banyak punya pilihan, ia harus realistis, karena perolehan suaranya hanya 14.5 persen. Partai Golkar, tidak mungkin melakukan koalisi dengan PDIP, yang sejak awal berbeda secara politik, dan yang paling masuk akal melakukan koallisi dengan demokrat. Dengan demikian, pemerintahan SBY akan mendapatkan dukungan parlemen yang kuat, selain dari dukungan Partai Golkar, juga mendapatkan dukungan dari PKB, PAN, PPP, PBB, dan sejumlah partai kecil lainnya.


Berdasarkan hasil perolehan suara yang ada, Partai PKS yang pada awalnya mempunyai ambisi, dan menginginkan masuk ke dalam ‘Istana’, sementara nantinya harus puas, kemungkinannyan hanya masuk ke dalam kabinet. Karena, PKS suaranya di pemilu 2009 ini, tak mencapai 10 persen, dan dari hasil semua lembaga survei berkisar 7-8 persen. Keinginannya untuk mendampingi Presiden SBY, kader PKS yang ingin menjadi wakil presiden, sementara itu, harus disimpan dahulu di ‘laci’. Karena, faktanya gagal untuk melakukan ‘booming’ suara, meskipun sudah melakukan berbagai langkah politik, yang sangat ‘dramatis’ dan ‘habis-habisan’ untuk mendapatkan suara. PKS sudah mengalami ‘lossing to bargain’ (kehilangan daya tawar) terhadap SBY dan Golkar, karena memang suaranya tidak mencapai 20 persen, seperti yang ditargetkan.


Mungkin, awalnya PKS menjadi ‘pionir’, yang mendukung Presiden SBY. Tapi, yang namanya politik, yang berbicara hanyalah sebuah kepentingan. Menurut hitungan politik, tak mungkin SBY mengambil ‘capres’ dari PKS, dan mengalahkan Golkar, meskipun awalnya JK dan Golkar sempat pencah kongsi dengan SBY. Inilah sebuah pelajaran politik yang paling berharga, yang perlu mendapatkan perhatian, bagi siapapun yang terlibat dalam politik.


Selanjutnya, dari pernyataan Sekjen Partai PKS, Anis Mata, menyatakan, jika SBY mengambil Golkar, dan menjadikan JK sebagai wakil presidennya, langkah politik yang akan diambil PKS, menarik dukungan kepada SBY dalam koalisi. Ketua MPR, Hidayat Nurwahid, yang merupakan kader PKS, yang sudah sering disebutkan untuk di ‘duetkan’ dengan SBY, juga sudah mengeluarkan nada, yang pesimis, bahwa kemungkinan dirinya akan disandingkan dengan SBY. Hidayat menyatakan : “PKS memang tidak dalam posisi mengajak berkoalisi, karena suaranya tak mencapai target 20 persen. Tapi, bila SBY-JK kembali di duetkan, dia mengatakan, “PKS mungkin berpikir ulang”, tegas Hidayat.


Tapi, peluangnya PKS menjadi oposisi terhadap pemerintahan SBY, di masa yang akan datang, kemungkinan sangat tipis. Dan, mestinya PKS berani mengambil posisi oposisi, sambil terus membangun kembali partainya. Hanya, nampaknya, yang pasti PKS, tetap ingin mempunyai akses terhadap kekuasaan, yang akan diperjuangkan dengan SBY-JK, tak lain adalah portofolia di kabinet mendatang, berapa jumlah kursi di kabinet yang akan didapatkannya.


Atau apakah PKS berani mengambil ‘opsi’ politik meninggalkan SBY, lari ke Mega, dan dengan melakukan ‘bargaining’ mendapatkan posisi wapres? Ini masih harus dilihat dari dinamika politik berikutnya, termasuk bagaimana keputusanan yang diambil kalangan elite Partai PKS yang berada di lembaga Majelis Syuro. Karena, Mega juga tetap menginginkan dukungan dari kalangan Islam. Apakah, jika PKS mendapatkan tawaran wapres dari Mega akan diambil? Karena, partai medium, yang suaranya relatif masih tinggi adalah PKS.


Antitesa dari pemerintahan SBY-JK yang akan datang hanya dari kubu Mega. Mega, nampaknya akan menjadi muara para jendral yang oposisi terhadap SBY. Partai PDIP dan Mega, kemungkinan menjadi lokomotif politik untuk menghadapi kekuatan SBY-JK. PDIP dan Mega, mendapatkan dukungan Gerindra yang dipimpin Letjen Prabowo Subianto dan Hanura yang dipimpin Jendral Wiranto. Banyak kalangan purnawirawan yang kurang puas dengan Jendral SBY, yang dianggap telalu ‘lemah’, khususnya menyangkut tentang nasionalisme. Di dalam gerbong ini, termauk mantan Kepala BIN , Jendral AM.Hendropriyono, dan dari kalangan sipilnya Gus Dur.


Tapi, siapa yang akan menjadi wapresnya Mega nanti? Kemungkinan, kalau dilihat dari karakter yang memiliki peluang adalah Prabowo. Prabowo dibanding para jendral lainnya, seperti Wiranto, dialah yang memiliki karakter yang paling kuat untuk menjadi pemimpin. Prabowo oleh tokoh PDIP, yang sudah ‘beralih’ ke Gerindra Permadi, mendapatkan julukan sebagai Soekarno ‘kecil’. Dilihat dari sisi ini, peluang ke depan, Prabowo bisa menjadi ‘putra mahkota’ bagi PDIP, di saat nanti, pasca tahun 2014, ketika Mega sudah lengser, kapal PDIP ini, nakhodanya dapat digantikan oleh Prabowo, kalau dilihatkan dari kelayakan politik, bukan Puan Maharani.


Jadi, sampai tahun 2014 nanti, tak akan ada pergantian kepemimpinan di Indonesia. Pergulatan politik antar jendral ini, yang nampaknya akan dimenangkan kembali oleh Jendral SBY, yang mendapatkan dukungan dari partai-partai yang berbasis Islam, dan nasionalis. Sementara itu, Mega dari perspektif politik, sudah harus menyerahkan ‘estafeta’ kepemimpinannya, karena pilpres Juli nanti, pasti akan menentukan akhir perjalanan politiknya. Ini sangat logis.


Sirkulasi kekuasaan dan transfer powers (pengalihan kekuasaan) atau regenerasi melalui proses yang ada yaitu ‘demokrasi’, baru akan berlangsung sesudah tahun 2014. Proses politik yang baru akan muncul, sesudah SBY, JK, Mega, meninggalkan gelanggang politik. Tapi, siapa yang akan mempunyai peluang sesudah tahun 2014 nanti? Apakah para jendral atau para politisi sipil?


Di mana para politisi Islam? Mereka tak pernah berani tampil, dan mengelola politik dengan kekuatan politik yang mandiri, dan konsisten, serta serius memperjuangkan cita-cita ideologi dan keyakinannya, mereka lebih suka menjadikan para jendral itu sebagai ‘patron’ mereka. Itulahnya kenyataannya. Golongan Islam secara politik akan mengalami 'vacuum' (kekosongan) dalam politik, yang panjang, jika tidak melakukan langkah-langkah ke masa depan, khususnya dalam partisipasi perbaikan terhadap negara.


Di tengah-tengah situasi krisis yang ada sekarang ini, seharusnya PKS, berani mengambil posisi menjadi alternatif, dan memelopori kekuatan baru, yang secara serius menawarkan solusi bagi masa depan Indonesia yang bersumber dari nilai-nilai prinsip Islam, Tidak hanya bisa berkoalisi dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada.Wallahu ‘alam. (mshi)

Read more »

Tanggapan: PKS: Keterbukaan yang Gagal Total

Apakah strategi politik (keterbukaan) PKS Gagal Total?
Sepertinya terlalu dini dan terburu-buru bila strategi politik PKS pada pemilu 2009 dinilai gagal total. Menurut saya tulisan ini memiliki tendesi yang terlalu emosional dan kurang tepat melakukan penilaian. Hasil quick count yang dirilis oleh sejumlah lembaga survey menunjukan suara PKS berada pada kisaran 7,37-7,84%. Bila kita memakai asumsi ini saja kita dapat mengatakan terdapat peningkatan (meskipun tidak seperti yang diharapkan) dibandingkan pemilu 2004 dan dibandingkan dengan beberapa partai islam dan nasionalis lainnya yang cenderung menurun.

Bahkan jika benar mencapai 10% s.d 13 % menurut saya itu jelas merupakan kebanggaan. Kenapa? Karena melakukan kerja politik bukan suatu hal yang mudah, jangankan 8%, bahkan mendapatkan 3-4,5% seperti partai yang baru yang memiliki modal triliyunan saja sudah suatu hal yang luar biasa dalam dunia perpolitikan indonesia. Kenapa mesti mencela PKS sementara diluar sana masih banyak yang lebih buruk lagi pencapaian hasilnya. Apalagi telah mahfum dikalangan kader dakwah bahwa kemenangan itu bukan saja diukur oleh hal-hal yang sifatnya kuantitatif atau perolehan suaranya saja namun proses kesungguhan dan keikhlasan merupakan hal yang penting. Saat ini perhitungan masih berjalan, sudah seharusnya kita menunggu hasil tersebut.

Tuduhan dan provokasi penulis yang menyatakan “Harusnya para kader partai ini yang berbasis well-educated dan well-informed menggugat ketua TPPN dan jajarannya untuk bertanggung jawab terhadap langkah-langkah dan program politiknya merugikan harga diri partai dan menguras energi dan potensi partai dan kader hanya untuk bertaruh yang bisa jadi tidak diridloi Allah swt karena banyak menggunakan cara-cara yang mencederai nilai-nilai da’wah bahkan menjurus pada ikut mempromosikan kemaksiatan dengan berkampanye meniru kampanye partai-partai sekuler dengan dangdutan, mengundang penyanyi-penyanyi …..

Merupakan tuduhan yang berlebihan, kurang proporsional dan tidak layak disampaikan. Saya melihat PKS sebagai partai dakwah senantiasa berusaha memperhatikan dan menjaga aktivitas kampanyenya dari perbuatan kemaksiatan. Saya bisa membandingkan hal ini setidaknya melalui media dan apa yang saya temui dilapangan, sungguh amat jauh berbeda dengan partai-partai berasas nasionalis atau juga dengan partai lain yang mengklaim ingin menegakkan syariat islam dalam kampanyenya. Strategi yang digunakan dalam berpolitik PKS merupakan hasil musyawarah yang dilakukan secara berjamaah melalui pengawasan dewan syariah.

Menurut saya manuver politik PKS tidak membingungkan atau sampai membuat sakit hati umat seperti yang dibayangkan penulis. Karena bila benar seperti itu tentu suara PKS akan sangat jatuh melorot, Alhamdulillah hal itu tidak sampai terjadi pada PKS. Setidaknya bila mengacu angka 7,37-7,84% hasil quick count, bisa dikatakan kebanyakan orang yang pada Pemilu 2004 memilih PKS tidak kebingungan dengan komunikasi politik PKS.

Secara umum dalam tradisi berorganisasi, kader dakwah di PKS berusaha untuk tidak lekas meletakkan kesalahan atau kegagalan dakwah pada satu atau beberapa orang jajaran pemimpin. Karena kerja dakwah (politik) PKS adalah kerja jamaah bukan kerja individu, ketika ia gagal tidak kemudian dibebankan pada satu orang, begitu juga ketika berhasil. Mari kita berfikir secara bijak tentang usaha yang telah dilakukan oleh para pemimpin dikalangan PKS. Saya yakin mereka telah bekerja keras memenangkan dakwah.

InsyaAlloh tidak ada yang perlu disesali, berapapun perolehan suaranya, bila baksos dan pelayanan sosial bagi masyarakat mereka lakukan dengan ikhlas, maka Alloh akan memberinya nilai pahala. Meski demikian memang sudah seharusnya PKS sebagai partai dakwah mengevaluasi strategi yang telah dilakukannya, mengapa target yang dicitakan tidak tercapai. Sebagai hamba Alloh, para kader PKS hendaknya melakukan instropeksi ke dalam diri masing-masing, apakah yang membuat do’a nya belum dikabulkan oleh Alloh. Dan evaluasi tersebut hendaknya dilakukan dengan memelihara sikap optimis dan menjadikan evaluasi sebagai sarana merapatkan barisan dan menguatkan kembali semangat, bukan malah memunculkan keributan, prasangka buruk, pesimisme dan perpecahan. Allohu'alam bishowab

“Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin. Seluruh perkaranya baik baginya. Tidak ada hal seperti ini kecuali hanya pada orang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan lantas dia bersyukur, maka hal itu baik baginya. Dan jika dia ditimpa kesulitan lantas dia bersabar, maka hal itu baik baginya." (Riwayat Muslim, no. 2999)

Slamet (slamryd@yahoo.com)
Read more »

PKS : Keterbukaan Yang Gagal Total

Euforia peningkatan perolehan suara partai yang berazas Islam pada pemilu 2004 yang fenomenal dalam percaturan politik Indonesia ternyata tidak memberikan cukup pelajaran bagi elit-elit politik partai tersebut untuk menyadari bahwa suara yang meningkat sedemikian dahsyatnya, sekitar 600% dari perolehan sebelumnya di pemilu 1999, merupakan kontribusi terbesar dari bukti kerja militan para kadernya dengan membawa panji-panji Islam dan memberikan efek ganda untuk mempengaruhi kesadaran ummat.

Bahwa dihadapan mereka ternyata masih ada harapan baru dengan munculnya generasi ummat yang penuh dengan semangat baru untuk membawa secercah perubahan dalam tubuh bangsa ini yang sudah sekian lama terpuruk karena berbagai persoalan multidimensi.

Euforia para elit partai tersebut yang tidak dibarengi sikap tawadlu’ semakin menunjukkan langkah-langkah yang bertentangan dengan semangat dan nilai-nilai yang selama ini menjadi prinsip dan syi’ar mereka dimulai sejak tahun 2004 sampai akhir-akhir ini. Mungkin saja mereka sempat bersyukur, tapi syukur yang bagaimana?

Karena sejatinya sikap bersyukur itu harus tercermin dengan semakin tawadlu’nya seseorang atau sekelompok kecil maupun besar orang terhadap Robbnya, Penciptanya. Dengan bukti ia atau sekelompok orang tersebut makin sadar dan teguh untuk berpegang pada nilai-nilai Robbnya. Bukan malah makin menunjukkan langkah-langkah yang menjauh dari nilai-nilai Robbnya.

Bukti euphoria yang kebablasan itu kenyataannya semakin diperparah dengan mulai dicanangkannya ‘wacana keterbukaan’ melalui Mukernas Majlis Syuro partai berazas Islam tersebut di Provinsi Bali pada bulan Februari 2008, sebuah provinsi tempat pusat agama berhala yang sangat bertentangan dengan prinsip da’wah partai tersebut yaitu menjunjung tinggi ajaran Tauhid yang mengesakan Allah saja. Tak ayal lagi, wacana tersebut mengundang sejumlah kontroversi baik dari eksternal apalagi dari internal partai tersebut. Wacana yang sangat dipaksakan.

Nampaknya konsep keterbukaan tersebut sudah disiapkan dan dijadikan grand design oleh segelintir pengendali tingkat elit partai berazas Islam tersebut. Berdasarkan informasi media, hasil Mukernas Majlis Syuro partai tersebut gagal menghasilkan keputusan bahwa kebijakan partai ke depan adalah menjadi partai terbuka. Bahkan Bayan partai tersebut yang dimuat separuh halaman koran Republika beberapa hari setelah penutupan mukernas menjelaskan bahwa partai tersebut tetap merupakan partai eksklusif.

Yang jadi persoalan adalah karena mungkin sudah kadung jadi hidden agenda segelintir elit partai tersebut, walaupun sudah menjadi keputusan Majlis Syuro yang merupakan keputusan tertinggi partai menolak konsep keterbukaan, konsep tersebut yang tadinya hanya wacana terus digulirkan dengan berbagai maneuver politik oleh segelintir politisi muda partai berazas Islam itu dengan tujuan agar dapat meraup suara semua kalangan dan bisa meraih 20% suara pemilu 2009.

Yang terjadi adalah maneuver politik keterbukaan kenyataannya memunculkan gaya berpolitik sekuler dan mengarah pada wacana-wacana politik controversial yang menyakitkan dan membingungkan ummat. Seperti tidak ada dikotomi lagi antara ideologi Islam dan nasionalisme, diskursus ideologi Pancasila dan UUD'45 telah final bagi partai yang mengaku partai da’wah itu, syari’at Islam adalah agenda masa lalu, memberikan gelar pahlawan dan mengangkat Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa, dan lain-lain. Akhirnya “mengharap burung di langit, punai ditangan dilepaskan”.

Agenda besar partai yang dikelola oleh sebuah tim yang mereka sebut dengan Tim Pemenangan Pemilu Nasional (TPPN) yang diketuai oleh politisi bernama Anis Matta, begitu yakin dengan gembar gembornya bahwa program-program partainya yang akan digulirkan sepanjang tahun dapat mendongkrak suara partainya untuk meraih 20%. Nyatanya, walaupun penghitungan manual KPU belum selesai, tapi quick count sebagai sebuah pendekatan ilmiah dan sudah terbukti di pemilu 2004 dan di setiap pilkada hasilnya mendekati kebenaran dengan margin error sekitar 1%, menunjukkan perolehan suara partai yang mengaku partai da’wah tersebut hanya mampu nangkring di angka 7,8%.

Jauh dibawah target bombastis 20%. Paling banter kalaupun ada perubahan mungkin hanya mampu mencapai angka dibawah 10%. Biasa untuk menghibur diri, komentar yang dikeluarkan oleh sebagian politisi partai itu berdasarkan penghitungan mereka sendiri katanya partai mereka bisa meraih angka sampai 13%???

Dengan fakta seperti ini berarti program keterbukaan yang high-economy (high cost) dan high-human capital telah gagal total. Harusnya para kader partai ini yang berbasis well-educated dan well-informed menggugat ketua TPPN dan jajarannya untuk bertanggung jawab terhadap langkah-langkah dan program politiknya yang merugikan harga diri partai dan menguras energi dan potensi partai dan kader hanya untuk bertaruh yang bisa jadi tidak diridloi Allah swt karena banyak menggunakan cara-cara yang mencederai nilai-nilai da’wah bahkan menjurus pada ikut mempromosikan kemaksiatan dengan berkampanye meniru kampanye partai-partai sekuler dengan dangdutan, mengundang penyanyi-penyanyi wanita yang berlenggak lenggok dihadapan khalayak kaum pria, sementara kader disuruh usbu’ruhiy (meningkatkan keimanan). Ironis memang!

Para elit partai ini dan sekujur jajarannya sepertinya tidak mau mengambil pelajaran penting dari ayat-ayat Allah. Dulu ada tokoh partai nasional yang notabene muslim dengan bahasa lain mengatakan kalau partainya memakai baju Islam akan terasa sempit. Kenyataannya partai itupun tidak mampu leading.

Sekarang partai yang mengaku partai da’wah beretorika dengan subtansi yang sama tetapi dengan bahasa yang beda yaitu melakukan deideologisasi Islam dan syari’at Islam, dan dengan tegas menyatakan masalah ideologi adalah agenda masa lalu. Singkatnya, hal-hal yang berkonotasi Islam militan coba disingkirkan dan dijauhkan. Padahal lompatan suara pemilu 2004 adalah hasil tumpah ruah ummat karena militansi yang ditunjukkan citra partai ini. Pelajaran penting, siapapun yang meninggalkan Islam, Allah pasti akan beri pelajaran dan perhitunganNya sendiri.

Wahai kader da’wah!, jadilah kalian orang yang cerdas dalam menentukan nasib berpolitik. Berorganisasilah dengan cara yang cerdas dan bertanggung jawab. Islam terlalu mulia untuk dipermainkan dengan cara-cara politik pragmatis. WAllahua’lam.

Jakarta, 13 April 2009
Salam Ta’zhim Muis Saifulhaq
Email: laizzhad@yahoo.com
Read more »

Pemilu yang dipaksakan

Proses pemungutan suara pemilu 2009 telah usai dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia yang terdaftar dalam DPT dan mendapat surat undangan di tiap - tiap TPS di seluruh Indonesia, kecuali bagi mereka yang Golput maupun tidak terdaftar alias golput yang dipaksa.


Proses pemungutan yang kami amati dilapangan yang kebetulan kami sebagai koordinator desa Cibugel bersama Mas Eko Suharyanto di wilayah DPC PKS Cisoka , sangat jauh dari harapan sempurnanya sistem pemilu di Indonesia yang sebenarnya sudah berulang - ulang tapi tidak menunjukkan perbaikan tapi malah menunjukkan kekurangan/kelemahan dalam sistem yang disertai ketidakpahaman dari KPPS maupun saksi di TPS. Terbukti saat pemungutan suara ditutup dan masuk ke proses penghitungan suara ternyata banyak dari KPPS yang tidak paham dengan proses penghitungan suara.


Ada beberapa kasus yang kami dapati ketika penghitungan suara di TPS III di kampung Nagrek yang kebetulan di saksikan oleh saksi PKS yang bernama Aziz, awalnya KPPS tidak paham bagaimana menghitung suara apabila "tanda gambar partai" dan "nama caleg " di contreng dua - duanya . Dari ketidak pahaman tersebut disaksikan oleh Caleg DPRD Kabupaten Tangerang dari partai Pelopor yang kebetulan memang warga asli Cibugel bernama Nurdin ZA, dan diapun menyuruh untuk menghitung 2 suara , jadi untuk partainya di hitung dan calegnya juga di hitung. Hal tersebut di protes oleh saksi dari PKS yang akhirnya sampai memanggil panwaslu dan akhirnya bahwa untuk gambar parpol dan caleg yang dicontreng tetap hanya di hitung 1 suara.


Hal tersebut terjadi lagi di TPS 2 di kampung Cibuluh yang ketua KPPS nya adalah Guru Musri dan saksi PKS adalah Harsono dari Blok C Perum Griya Permata Cisoka, saat kami tiba di TPS tersebut telah berlangsung penghitungan kotak suara yang ke 2 , dan waktu kami saksikan juga terjadi hal sama di TPS 3 bahwa gambar parpol di contreng dan nama caleg dicontreng dalam 1 kertas suara di hitung 2 , akhirnya kami mencoba memberi tahu KPPS dari pada nanti disuruh menghitung kembali di PPK atau bahkan malah menjadi masalah pidana karena dianggap menggelembungkan suara maka kami memberi pemahaman bahwa setiap 1 kertas suara hanya memiliki 1 suara pula, tidak mungkin punya 2 suara atau lebih sekalipun di contreng lebih dari satu. Bahkan malah tidak ada suaranya kalau ternyata yang dicontreng semua nama caleg atau semua gambar parpol.


Dan dari anggota KPPS mengatakan , bahwa awalnya memang dia kurang paham dan kebetulan tadi oleh Nurdin ZA Caleg dari partai Pelopor untuk Dapil I yang juga mantan kades Cibugel memberitahu demikian kalau gambar parpol di contreng dan nama caleg di contreng maka di hitung 2.


Tapi setelah kami beri pemahaman merekapun paham dan mengucapkan terima kasih. Dan mereka mengatakan kalau seandainya mereka dipersalahkan katanya mereka mau nuntut karena tidak pernah disosialisasi tentang pencontrengan dan penghitungan suara oleh PPK.


Dan di Cibugel khususnya sepertinya ada kecurangan secara sistematis, karena di TPS 2 juga sempat ada beberapa anak - anak di bawah umur dari Pesantren An Nurullah pimpinan KH. Budi Setiawan juga mendapat surat undangan nyontreng , untung kami mengetahui dan langsung kami perintahkan ke saksi PKS untuk menanyakan apakah sudah punya KTP dan ternyata dia belum punya KTP padahal saat kejadian tersebut ada lurah Cibugel Haerul Saleh yang sekaligus adik Caleg Nurdin ZA.


Kalau ini bukan indikasi kecurangan pasti sudah dihentikan atau paling tidak diingatkan bagaimanapun beliau sebagai Kepala Desa yang mestinya paham akan hal itu apalagi pada pemilu maupun pilkada yang lalu beliau selalu menjadi PPS, tidak mungkin beliau tidak paham akan hal itu.


Hal seperti ini yang harus diwaspadai.


Dan yang perlu di garis bawahi bahwa sistem pemilu 2009 yang multi partai dan multi caleg sangat menyita waktu, bayangkan penghitungan suara di mulai jam 12 siang baru selesai jam 4 pagi itupun dengan penyajian data yang acak - acakan. Anggota KPPS sudah kepayahan dan saksi juga sangat kecapekan hal ini dapat mengundang berbagai kecurangan. Apalagi setelah kami entry data formulir C1 dari para saksi ternyata banyak , bahkan hampir semua tidak cocok dan selisih . Akurasinya jauh dari kebenaran sehingga peran saksi di sini sangat lemah.


Bagaimana tidak , tatkala nanti kita akan verifikasi data dengan PPK dan kebetulan data antara KPPS dan saksi berbeda bagaimana kita bisa berargumen sementara form C1 juga banyak yang tidak ditanda tangani oleh saksi maupun KPPS.


Masalah DPT juga semakin banyak menambah kekisruhan ini, yang mengakibatkan banyak orang dirugikan. Semoga di waktu yang akan datang sistem lebih baik dan sempurna dan jangan terkesan dipaksakan, sangat disayangkan dengan biaya trilyunan rupiah tapi hasil pemilu tidak maksimal dan banyak merugikan orang.

Dan untuk PKS masalah saksi harus diperkuatalagi karena saksi adalah peran vital dalam setiap tahapan penghitungan suara dan rekapitulasinya.



Sumarno

Kordes Cibugel
Read more »

Tolak SBY-JK Terulang, PKS Emoh Jadi Pelengkap Penderita

Laurencius Simanjuntak - detikPemilu



















Jakarta - Sikap PKS yang mengancam menarik dari koalisi jika SBY kembali akan berduet dengan JK dipicu oleh trauma.

Partai dakwah ini takut jika nantinya hanya akan dijadikan pelengkap penderita lagi dalam koalisi."Peran yang dimainkan Golkar dalam koalisi dominan sekali, sehingga anggota koalisi yang lain kurang berperan.

PKS tidak ingin dijadikan pelengkap penderita lagi," ujar pengamat politik LIPI Lili Romli saat berbincang dengan detikcom, Selasa (14/4/2009).Alasan kedua mengapa PKS menolak duet SBY-JK terulang, kata Lili, dikarenakan karena hitung-hitungan pembagian kekuasaan."Duet SBY-Hidayat yang digadang-gadang pasti gagal, belum lagi jatah kursi menteri pasti untuk PKS pasti kecil," ujarnya.

Lili menambahkan, sikap PKS yang masih kuat ideologi politiknya juga menjadi alasan mengapa PKS menolak Jusuf Kalla dengan partai beringinnya."Golkar terkenal lihai dalam berpolitik, seperti waktu 2004 PDIP pernah ditinggalkan Golkar. Kalau PKS sepertinya punya prinsip, mendingan oposisi ketimbang menjadi pelengkap penderita," pungkasnya.
Read more »

Read more »

 

KABAR DPRa Cibugel

KIPRAH KEWANITAAN

KOLOM

Selamat datang di Situs Partai Keadilan Sejahtera - DPRa Cibugel , AYO BEKERJA UNTUK NEGRI.