JAKARTA, RIMANEWS ---– Partai politik (parpol) pendukung koalisi mendorong Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk keluar dari koalisi. Keputusan ini terkait sikap partai tersebut yang tidak merasa bersalah terkait langkahlangkah politik yang sering berseberangan dengan parpol lain yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab).
Ketua DPP Partai Amanat
Nasional (PAN) Bima Arya Sugiarto menandaskan, jika menyimak dari pernyataan para pimp
inannya, PKS sangat siap mengambil peran yang berbeda di luar pemerintahan.” Itu harus dihargai karena artinya PKS konsisten dengan langkah-langkahnya yang sangat kritis terhadap pemerintahan koalisi,”katanya. DPP Partai Demokrat juga mempersilakan PKS keluar koalisi secara ksatria daripada terus memolemikkan apa hakikat dari koalisi.
Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat Saan Mustopa mengungkapkan, pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah sangat jelas bahwa koalisi yang dibangun untuk menyukseskan pemerintahan. Karena itu, jika lebih memilih untuk terus berbeda dengan pemerintahan dan koalisi pada umumnya, langkah terbaiknya adalah memutuskan berada di luar koalisi.”PKS kan sudah bilang bahwa siap menjadi oposisi dan lebih nyaman berada di luar. Silakan itu diputuskan untuk menjadi oposisi tunggal yang selalu dibanggakan,” kata Saan di Gedung DPR,Jakarta,kemarin.
Sekretaris Fraksi Demokrat ini menegaskan, apa yang disampaikannya bukanlah wacana baru ataupun tuntutan yang mengada-ada. Dia mengacu pada pidato Presiden SBY yang juga jelas menyatakan ada beberapa partai yang tidak komitmen menjalankan kontrak koalisi. Menurut dia, apa yang telah diutarakan Presiden SBY mengenai keresahannya atas beberapa partai koalisi bukan saja atas rekomendasi dari Partai Demokrat.
Presiden SBY, lanjutnya, juga mendengarkan aspirasi dari mitra koalisi lain seperti PAN dan PKB yang selama ini juga merasakan keresahan yang sama.”Jadi apa yang kita sampaikan adalah sikap rasional kita, bukan emosional. Ini sudah didiskusikan secara matang,” ungkapnya. Sekretaris Setgab Syarif Hasan juga menilai,PKS layak keluar dari koalisi karena tidak hanya membangkang soal sikap hak angket mafia pajak, tapi juga tidak memiliki komitmen pada Setgab.
Hal ini berbeda dengan sikap Partai Golkar yang masih menghormati Setgab. Dia pun mengingatkan, bila PKS tak memiliki komitmen, kemungkinan Presiden SBY akan mengeluarkannya dari koalisi. ”Kalau masih tidak komit, pasti akan keluar lah. Bisa terjadi kalau memang PKS masih mau mengubah mindset politiknya bahwa mereka akan komit terhadap koalisi, kemungkinan ada saja,” ungkap politikus senior Partai Demokrat yang kini menjabat menteri koperasi dan UKM ini.
Wakil Direktur Pusat Analisis dan Riset Rakyat (Parra) Indonesia Ishan Jauhari menilai, dari tujuh isu krusial nasional yakni pemilihan Gubernur BI, pemilihan Kapolri, pemilihan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dana aspirasi, Undang-Undang Pemilu, dan hak angket perpajakan, sikap PKS bersama Partai Golkar yang paling tidak konsisten.
Setelah dilakukan analisis dan penilaian, secara akumulatif dua partai tersebut banyak perbedaannya dibanding kesamaannya dengan suara mayoritas dan arahan koalisi. Ishan membeberkan, Partai Golkar cuma dapat skor 17 dan PKS dapat 18. Nilai ini sangat rendah dibanding PKB yang mendapatkan skor 30,PPP (31), dan PAN (34). ”Jika analisis ini dijadikan dasar, memang sangat wajar jika ada desakan agar Presiden SBY bertindak tegas dan merombak struktur Setgab dan kabinet agar lebih efektif,”tandasnya. Sementara itu, PKS menegaskan tidak akan mengubah sikap meskipun menanggung risiko hengkang dari koalisi.
Sekretaris Jenderal DPP PKS Anis Matta menegaskan, pihaknya selalu siap untuk menerima apa pun hasil evaluasi yang dilakukan Presiden. ”Di luar atau di dalam (koalisi) sama saja.Kita santaisantai saja, tidak khawatir,” ucap Anis di Gedung DPR, Jakarta,kemarin. Namun, dia menggariskan, apabila keberadaan PKS di dalam koalisi diakhiri, harus dilakukan secara baik-baik atau tertulis karena kontrak politik untuk koalisi dengan Presiden SBY juga dilakukan secara tertulis.
”Kalau harus cerai, cerai dengan baik.Ada dokumen tertulis yang bisa dilihat,” ujar Anis. Dia lantas menandaskan, permasalahan dalam koalisi terletak pada pola komunikasi. Persoalan strategis semestinya dibahas langsung oleh Presiden SBY dan seluruh pimpinan partai politik. Dalam dua kasus yakni angket Century dan mafia pajak, Anis mengakui tidak pernah ada kesepakatan. Misalkan kasus Century, PKS sebelumnya pernah bicara kepada Presiden SBY.
”Beliau bilang, silakan. Tapi,Demokrat bilang mundur. Ini membingungkan, kenapa ada perbedaan Presiden SBY dan Demokrat. Masalah ini yang harus dievaluasi,” tegasnya. Lebih jauh dia menilai,pola komunikasi dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) sudah melenceng. Wadah itu tidak lagi untuk komunikasi, tapi lebih pada sosialisasi kebijakan. ”Kita tidak ingin jadi pemadam kebakaran,”ujarnya. Berbeda dengan PKS yang memilih konfrontatif,DPP Partai Golkar memilih sikap lunak dalam menghadapi rencana tata ulang koalisi.
Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Idrus Marham menegaskan partainya menghormati pernyataan Presiden SBY dan siap untuk memperkuat koalisi.Namun, dia menggariskan bahwa koalisi seharusnya bukan sekadar mengawal kekuasaan, melainkan juga lebih bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Sikap Golkar yang mendukung angket Century dan mafia pajak, lanjut dia, harus dilihat sebagai upaya memperkuat visi Presiden SBY mewujudkan pemerintahan yang bersih.
”Kalau sebaliknya,melemahkan pemerintahan Presiden SBY. Siapa pun yang objektif dan rasional, pasti sependapat dengan Golkar,” katanya. Sebelumnya Presiden SBY mempersilakan mitranya keluar dari koalisi jika tidak bisa memenuhi etika dalam berkoalisi. Sebagai ketua koalisi, Presiden SBY mengingatkan bahwa 11 butir kesepakatan yang disebut sebagai Code of Conduct seharusnya bisa dijalankan oleh mitra koalisi,bukan sebaliknya.
Dalam pandangan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat ini,beberapa mitra koalisinya akhir-akhir ini tidak konsisten terhadap 11 kesepakatan yang telah diteken antara dirinya sebagai Presiden terpilih 2009-2014 dan partaipartai yang tergabung dalam mitra koalisi.Enam partai yang menandatangani kesepakatan pada Oktober 2009 itu yakni Partai Golkar,PKS,PAN,Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),dan Partai Demokrat.
SBY Kirim Surat
Presiden SBY berencana melayangkan surat kepada anggota partai koalisi dalam waktu dekat. Melalui surat tersebut, Presiden SBY akan meminta ketegasan anggota partai koalisi untuk segera menentukan sikap apakah akan tetap bergabung dengan koalisi dan mendukung pemerintah atau keluar dari koalisi. ”Pesan tunggalnya sama, menanyakan kembali komitmen dan apakah mereka untuk tinggal atau pergi. Enggak ada jawaban abu-abu.
Ditanyakan dengan bahasa yang lugas,saya kira menjadi spirit surat itu,” kata Staf Khusus Presiden Bidang Politik Daniel Sparingga di Bina Graha kemarin. Daniel mengatakan, surat tersebut akan menjadi referensi serta pertanyaan final mengenai situasi sekarang ini, terutama setelah partai koalisi terpecah saat pemungutan hak angket Bank Century dan hak angket mafia pajak di DPR.
”Saya kira reshuffle hanya implikasi sederhana dari perubahan konfigurasi bila itu terjadi dan kompetitif. Dan itu percakapan yang mungkin menarik, tetapi hanyalah akibat dari apa yang terjadi dalam kerangka komunikasi,” papar Daniel. Pengajar Universitas Airlangga Surabaya ini mengingatkan ada satu hal yang mendesak yang harus segera dibereskan dalam waktu dekat yakni komitmen bersama partai koalisi.Dengan masa pemerintahan tersisa 3,5 tahun lagi, Presiden SBY berharap pemerintah berjalan lebih efektif tanpa ada ganjalan dari koalisi.
”Pemerintah ini usianya tinggal 3,5 tahun. Kalau mau bicara lebih terang, tinggal 2,5 tahun karena satu tahun akan terpakai untuk persiapan pemilu. Presiden SBY dan Pak Boediono tidak bisa membayar lebih mahal dari 1,5 tahun pertama ini. Mereka ingin memastikan ada pemerintahan yang lebih efektif dan itu mungkin terjadi di antaranya kalau koalisi ini bisa diandalkan,” katanya. Selain mengirim surat, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi juga sudah diberi mandat untuk berkomunikasi dengan menteri-menteri dari partai-partai yang bermasalah.
Daniel menambahkan, dalam satu dua hari terakhir,Presiden juga terus melakukan komunikasi secara maraton dan intensif, terutama dengan pimpinan partai politik. Kemarin,Presiden SBY juga sempat pertemuan tertutup dengan Ketua Umum DPP PKB yang juga Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar di Wisma Negara. Empat petinggi Partai Demokrat turut mendampingi Presiden yakni Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Mohammad Jafar Hafsah,serta Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat Andi Mallarangeng.
Tidak ada satu patah kata pun yang terlontar dari mereka seusai pertemuan. Anas,Marzuki,dan Jafar hanya melambaikan tangan kepada wartawan. Sebelumnya, Selasa (2/3), Ketua Umum DPP PAN Hatta Rajasa menemui politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Taufiq Kiemas. Mantan Sekjen DPP PDIP Pramono Anung saat dikonfirmasi mengakui bahwa hingga saat ini PDIP terus diajak komunikasi dan diberikan tawaran untuk masuk dalam kabinet.
Dia juga mengakui ada komunikasi dengan pihak koalisi terkait itu. Namun, dia menegaskan bahwa PDIP dalam kongres terakhir memutuskan untuk berada di luar pemerintahan. Pramono juga menegaskan, Megawati selaku ketua umum diberikan kewenangan jika untuk membuat formulasi ada perubahan sikap politik. Tetapi, Megawati selama ini telah menunjukkan sikapnya sebagai politikus yang konsisten. ”Jadi kata kuncinya tetap ada di Ibu Megawati,”ungkapnya. (Juf/SI)