Kamis, April 30, 2009

Catatan Pileg

Dwi Eka A.

Secara umum pelaksanaan pesta demokrasi pemilihan anggota legislatif (pileg) pada 9 April 2009 berjalan sukses, segenap warga negara berbondong-bondong menuju tempat pemungutan suara (TPS), proses pemungutan suara berjalan tertib, aman dan jauh dari gangguan keamanan. Namun demikian, ada sedikit ganjalan yang menggambarkan sebagian warga negara melupakan reformasi.

Perhitungan real count sepuluh besar yang dilansir Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada (19/4) Partai Demokrat menempati urutan teratas dengan perolehan suara dengan 20,521%, diikuti Partai Golongan Karya (Golkar) 14,567%, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 14,086%, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 8,256%, PAN 6,302%, PPP 5,374%, PKB 5,101%, Gerindra 4,346%, Hanura 3,3611%, dan PBB 1,86%.

Daftar Pemilih Tetap (DPT) mendapat perhatian cukup serius pada pemilu 2009 ini, banyak ditemukan warga yang tidak terdaftar, meski secara administratif kelengkapan datanya lengkap, bahkan pihak KPU sendiri mengakui tidak melakukan pemutakhiran data karena keterlambatan anggaran.

Berikutnya tingkat partisipasi masyarakat tergolong rendah, bila dikalkulasikan golongan putih (golput) tampil sebagai pemenang. Bisa jadi jadwal pelaksanaan pemilu yang berbarengan dengan libur panjang atau kurangnya sosialisasi dari penyelenggara menyebabkan greget masyarakat berkurang, di sisi lain kecenderungan warga yang mulai jenuh dengan agenda demokrasi yang bertubi.

Caleg malu-maluin

Di Sulawesi, seorang calon anggota legislatif (caleg) memblokir jalan yang dianggap milik kakeknya. Padahal selama ini jalan tersebut menjadi satu-satunya akses warga, lantaran warga tak memilih dirinya. Di Bogor, Jawa Barat, ada caleg yang membongkar kembali jalan yang telah dibangun dengan dana miliknya. Di Karawang, seorang caleg yang gagal meminta kembali bantuan mesin pompa air tempat wudhu di mushalla sebuah desa. Di sisi lain ada caleg yang menarik kembali barang bantuan yang telah dihibahkan kepada warga.

Sementara yang membuat kita prihatin, ada caleg yang meninggal sesaat setelah mengetahui dirinya gagal, tragisnya ada caleg yang mengakhiri hidupnya dengan jalan pintas, terdapat caleg yang merusak kantor PPK, dan tak sedikit caleg stress yang kini menghuni panti rehabilitasi.

Ternyata masih ada caleg yang kesal, emosi, dan meluap kemarahannya kepada warga karena tak memilih dirinya. Padahal si caleg telah berkorban dengan harta dan tenaga untuk kepentingan masyarakat, tapi apa daya suara mereka beralih di luar dugaan. Hal ini membuktikan mental caleg yang selama ini dibangun melalui pendidikan politik partainya masih sangat rendah dalam memahami hakekat berdemokrasi. Sang caleg lupa bahwa masyarakat juga cerdas dalam memilih wakilnya yang dianggap capable dan bermoral.

Politik uang

“Maju tak gentar memilih yang bayar”, seolah menjadi klimak semboyan reformasi 1998 yang menolak adanya KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme), pada pemilu kali ini justru berbalik arah. Segenap oknum tim sukses caleg atau partai tertentu berlomba-lomba memberikan uang agar memilih caleg atau partainya pada warga sesaat sebelum pemilu dimulai.

Indikasi politik uang ini begitu kental, ketika warga marak membicarakannyra sesaat setelah pemilu berlangsung. Mereka lebih condong memilih caleg atau partai yang lebih besar memberikan rupiah. Mau dijadikan apa negeri ini, bila masyarakat memilih secara pragmatis. “Tak habis pikir kenapa caleg rela menghabiskan uang bermilyar rupiah, sementara gaji bersih seorang anggota DPR pertahunnya tak mencapai angka 1 milyar”, ujar sahabat saya.

Partai Keluarga

Bila reformasi 1998 sangat membenci praktek nepotisme atau kekeluargaan, kini seolah sudah menjadi legal. Ditemukan caleg dalam satu dapil terdiri dari satu keluarga bahkan ada caleg yang secara terang-terangan mendukung caleg lain yang notabene suaminya sendiri. Hal ini menunjukan dunia politik seolah telah menjadi segala-galanya. Mungkin karena untuk menjadi PNS atau pengusaha susah sehingga masing-masing pihak mengerahkan segala kemampuannya demi memperoleh satu kursi.

Militer lebih disukai

Tampilnya Partai Gerindra dan Hanura sebagai pendatang baru yang mampu menyodok sepuluh besar perolehan suara secara nasional dan melewati ambang batas parlementary treshold sedikit mengubah wacana. Kedua partai ini sama-sama dipimpin oleh jendral purnawirawan atau dari unsur militer.

Sepertinya ada kecenderungan masyarakat saat ini lebih menyukai sosok atau figur dari kalangan militer yang dianggap lebih tegas, disiplin, berani, dan lebih punya nyali dalam menyuarakan aspirasi. Berbeda dengan reformasi 1998, di mana tokoh sipil menjadi pilihan publik dan kalangan militer dipandang sebelah mata.

Perhitungan yang panjang

Banyaknya kontestan pemilu 2009 membuat proses perhitungan sangat panjang, proses tabulasi real count pun sangat lambat, belum lagi tidak seragamnya pengetahuan petugas KPPS dan PPK tentang sistem perhitungan membuat semakin lambatnya proses perhitungan. Lebih miris lagi ditemukan seorang petugas PPS mencuri rekap berita acara dan formulir C2.

Kondisi ini memberikan peluang pelanggaran dan kecurangan semakin tinggi. Di beberapa tempat bahkan ditemukan kotak suara yang telah terbuka kuncinya yang mengindikasikan adanya perubahan suara hasil pemilu. Ditambah lagi di beberapa TPS ada surat suara yang tertukar. Karenanya peranan panitia pengawas (panwas) dan saksi menjadi sangat penting untuk mengawal proses perhitungan hingga selesai. (dea)

 

KABAR DPRa Cibugel

KIPRAH KEWANITAAN

KOLOM

Selamat datang di Situs Partai Keadilan Sejahtera - DPRa Cibugel , AYO BEKERJA UNTUK NEGRI.