Pepatah mengatakan “Politik layaknya sebuah permainan, menyimpan banyak teka teki”. Diktum ini menemukan legitimasinya bila dikaitkan dengan dinamika politik saat ini. Politik memang menghadirkan nuansa dan ragam peristiwa yang nyaris tak terduga.
Prediksi, polling, dan survey acap kali meleset lantaran keadaan yang dinamis, susah ditebak hasil akhirnya. Sebagai misal, potret politik mutakhir yang ditandai dengan menangnya Partai Demokrat (PD) dalam pemilu legislatif menunjukkan sebuah fenomena politik cukup mencengangkan. Betapa tidak, PD yang dalam pemilu 2004 hanya memperoleh 7 persen suara, tahun ini meningkat drastis mencapai 20 persen. Sebuah capaian yang luar biasa.
Kemenangan PD tentu saja meluluhlantahkan prediksi sementara kalangan yang menengarai Golkar ataupun PDIP akan keluar sebagai pemenangnya. Mengingat, dua partai tersebut merupakan partai yang mempunyai infrastruktur cukup mapan dan memiliki basis tradisional yang sangat fanatik dibandingkan PD yang terbilang masih baru.
Ketakjuban lain adalah keunggulan PKS ketimbang partai Islam lainnya. Kalau dicermati secara seksama, PKS merupakan partai yang relatif baru, lahir dari rahim semangat reformasi, selalu dituduh ‘Taliban’ dan ‘eksklusif’.
Namun nyatanya, dalam pemilu legislatif kali ini, hasil penghitungan sementara KPU menunjukkan bahwa PKS mampu menempati peringkat keempat setelah PD, Golkar, dan PDIP.
Sementara, dibandingkan partai-partai Islam lainnya PKS memuncaki perolehan suara dengan raihan 8 persen. Meski kurang signifikan, raihan suara 8 persen merupakan capaian prestius yang mengindikasikan PKS sudah mampu melakukan penetrasi cukup baik di tengah heterogenitas masyarakat Indonesia. Kalangan praktisi dan pengamat politik menilai, pemilu legislatif 2009 berbeda jauh dengan pemilu-pemilu yang sudah pernah digelar.
Jika sebelumnya penentuan siapa yang jadi berdasarkan nomor urut, maka kali ini penentuan sebagai pemenang didasarkan atas perolehan suara terbanyak menyusul dikeluarkannya keputusan MK. Karena keputusan MK inilah, semua caleg merasa mempunyai kesempatan yang sama untuk menang dan duduk sebagai anggota dewan.
Hampir semua caleg yang berkompetisi memperebutkan kursi beranggapan bahwa, cara yang paling efektif untuk memenangkan kompetisi adalah dengan politik uang, sedikit saja caleg yang tidak menjadikan uang sebagai mesin suara. Tak ayal, caleg-celeg di tingkat pusat maupun tingkat kabupaten, berlomba membagikan uang kepada masyarakat guna meraih dukungan yang melimpah.
Namun, logika politik seringkali tidak berjalan secara linear. Masyarakat sudah cerdas untuk menentukan siapa calon mereka nantinya. Maka timbullah slogan “ambil duitnya jangan pilih orangnya”. Berkaitan dengan model kampanye, Ketua DPP PKS Zulkieflimasnyah mengatakan, pemilih bisa dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu masyarakat perkotaan dan pedesaan.
Untuk masyarakat perkotaan, politik uang dan bagi-bagi sembako cenderung kontra produktif dengan tujuan memperoleh dukungan masyarakat. Sebab yang ada justeru antipati terhadap calon. “Masyarakat perkotaan itu sangat rasional, melihat segala sesuatu bukan didasarkan dari materi (uang, red) melainkan visi, misi, serta track record-nya,” katanya saat diwawancara ANTV seputar Caleg Stres.
Sedangkan untuk kalangan rural (pedesaan), bagi-bagi sembako dan serangan fajar menjelang hari H merupakan cara yang paling banyak ditempuh para caleg. “Duit mengalahkan silaturrahmi dan komunikasi yang sudah dibangun jauh-jauh hari sebelum pemilu. Money politic ini sangat disayangkan. Tapi beginilah realitas politik kita,” urai Bang Zul.
Di antara dua model kampanye ini, bang Zul menilai, mayoritas caleg menggunakan model kedua. Meski tidak mendidik, bagi-bagi duit kerap dilakukan caleg untuk meraup dukungan suara. " Ini sangat tidak mendidik. Ke depan kita mesti mendidik masyarakat untuk memilih pemimpinnya dengan baik. jangan hanya karena duit 50 ribu, masyarakat sengsara untuk waktu yang cukup lama," tegasnya.Saat ditanya fenomena maraknya caleg stres, Bang Zul mengatakan, hal itu bisa dimaklumi. Karena pasca keputusan MK pemilu cukup berat dan high cost.
Semua caleg bersemangat karena ada harapan untuk menang. “Banyak caleg yang sudah menghabiskan semua harta kekayaannya, tapi mereka tidak jadi. Akibatnya mereka stres,” tukas pria lulusan Inggris ini.Selain itu, banyak caleg yang kalah meminta kembali barang yang sudah disumbangkan kepada masyarakat. “Mestinya, dalam memberikan sesuatu kepada masyarakat harus didasarkan atas niat tulus, ikhlas dan membantu sepenuh hati,” katanya menambahkan.
Oleh karena itu, jangan pernah memaknai kekuasaan secara berlebihan. Akibatnya, jika tidak terpilih akan stres. Kekuasaan itu adalah bagian dari amanah yang mesti dijalankan dengan baik. Bagaimanapun, kekusaan bukan tujuan akhir tetapi alat untuk mengabdi kepada masyarakat. Bila hal itu disadari, layaknya permainan, sportivitas akan dijunjung tinggi sehingga kekalahan disikapi dengan legowo. Apalagi mengabdi tidak hanya dapat dilakukan melalui jalan kekusaan semata melainkan banyak hal lain yang lebih strategis, signifikan bahkan bermanfaat.Pada sisi lain, kemenangan dalam pemilu bukan tanpa masalah.
Putusan MK yang membuat caleg menghamburkan uang demi kekuasaan harus disikapi dengan hati-hati. Sebab, keberanian mengeluarkan kocek ratusan hingga miliyaran rupiah tidak mungkin terjadi kecuali ada jaminan yang lebih menjanjikan. Alasan mengabdi boleh jadi bagi orang-orong tertentu, tetapi itu bukan satu-satunya alasan. Kebanyakan cenderung melihat peluang untuk meraup uang lebih banyak lagi.
Apalagi, ongkos politik yang digunakan tidak sepenuhnya dikeluarkan dari kantong pribadi. Maka apa yang terjadi pada caleg stres karena tidak rela kekayaannya raib seketika, juga akan berlaku kepada caleg pemenang pemilu dengan mengambil uang negara. Akibatnya, budaya korupsi pun semakin merebak. Pertanyaannya, yang tidak beres apakah kekuasaannya atau niat untuk mencapai kekuasaan?Pertanyaan itu menggambarkan dunia politik nasional masih jauh dari cita-cita yang diharapkan. Minimnya pengetahuan politik mengancam terhadap eksistensi demokrasi sehingga jauh dari substansi dasarnya.
Padahal, salah satu tujuan demokrasi adalah sebagai alat bagi terwujudnya pemerintahan yang absah, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, bukan untuk kekuasaan pribadi demi kepentingsn diri atau kelompok. (Adi)