Sebuah Ulasan Buku
Konsultan Syari’ah
Tampilan
Judul: Fiqh Jihad
Pengarang: Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
Penerbit: Wahba
Tahun: 2009
Jumlah Halaman: 1439
Mengapa Al-Qaradhawi ? Dan Mengapa Jihad ?
Diantara Fiqh Zakat dan Fiqh Jihad
Keutamaan Jihad di dalam Fiqh Al-Qaradhawi
Sifat Moderat Syeikh Al-Qaradhawi dan Fiqh Jihad
Kepada Siapa Buku ini Ditujukan?
Pendekatan Al-Qaradhawi dalam Mengenalkan Fiqh Jihad
Buku yang berjudul Fiqh Jihad ditulis oleh seorang mujahid sekaligus seorang yang sangat terpelajar yaitu Sheikh Yusuf Al-Qaradawi dan telah diterbitkan di dalam lebih dari 1.400 halaman yang berukuran standar oleh Wahbah, Kairo. Banyak orang yang sudah lama dengan penuh harap menunggu diterbitkannya buku ini. Kendatipun demikian, sang syeikh berlaku sangat hati-hati dan menundanya hingga buku ini sudah berkembang dengan sempurna, lalu, setelah merasa puas dengan segala isinya, sang syeikh meluncurkannya sebagai cahaya penunjuk yang menghalau semua awan kegelapan yang membayang-bayangi ummat yang tengah dalam kebingungan ini.
Mengapa Al-Qaradhawi? Dan Mengapa Jihad?
Pada masa sekarang ini, banyak orang terpelajar yang terpanggil untuk memperluas ruang lingkup dari ijtihad mengenai isu-isu yang terkait dengan jihad, sejak topik-topik yang meliputi tindakan-tindakan ibadah atau transaksi, khususnya transaksi-transaksi keuangan, telah menerima bagian yang harus dibayar akan ijtihad individual dan kolektif. Bagaimana pun juga, jihad belum menerima bagian yang sama (dari usaha) walaupun jihad sangat penting artinya dan dibutuhkan oleh manusia segala zaman, khususnya zaman sekarang ini di saat banyak negara saling mengundang satu sama lain untuk bekerja sama melawan Ummat ini pada saat mereka duduk mengelilingi sepiring besar makanan mengundang satu sama lain untuk makan.
Di sisi lain, orang-orang yang lainnya merasa takut untuk membuka pintu untuk meneliti dan menulis tentang topik jihad di zaman sekarang ini, jangan sampai ijtihad tampil seakan-akan bersifat membenarkan dan lemah, menyerupai status dari Ummat kita. Mereka merasa takut kalau-kalau ijtihad melahirkan sikap tunduk dan pembenaran terhadap kenyataan hidup kita yang pahit, mengundang kaum Muslimin untuk mendukung perdamaian di dalam sebuah masa yang hanya mengenal bahasa agresi.
Di usia terbaiknya, pria ini sama sekali tidak merasa takut ataupun tergoda baik oleh kekuatan militer maupun oleh harta yang ditawarkan oleh penguasa, meskipun pada kenyataannya berbagai kenyamanan hidup berada dalam genggamannya. Mereka juga merasa takut kalau-kalau ijtihad akan menjadi draconian sebagai reaksi dari terjadinya pertumpahan darah di tangan musuh-musuh kita, penodaan terhadap kesucian rumah-rumah ibadah, dan perampasan temapat-tempat suci kita.
Oleh karena itu, ijtihad akan menjadi bersifat pembalasan apabila tidak menghargai pertalian kekeluargaan ataupun persahabatan dan yang tidak menghormati kewajiban-kewajiban serta kesucian rumah-rumah ibadah, ijtihad memiliki motto sebagaimana ucapan dari Ibnu Zuhayr, “Dia yang tidak menyakiti orang yang tersakiti.”
Meskipun demikian, Allah SWT membuka hati sang syeikh yang terpelajar dan menyediakan berbagai sarana baginya untuk memikul beban yang berat ini dan menjalani tugas ini sehingga ijtihad yang terjadi bukanlah yang bersifat pembenaran ataupun yang bersifat pembalasan.
Dengan demikian, buku tersebut menjadi cahaya ketika sang syeikh melewati usianya yang ke-80 (lahir pada tahun 1926). Di masa berjayanya, pria ini sama sekali tidak merasa takut ataupun tergoda baik oleh kekuatan militer maupun oleh harta yang ditawarkan oleh penguasa, meskipun pada kenyataannya berbagai kenyamanan hidup berada dalam genggamannya.
Dia bahkan sedang butuh untuk dilengkapi dengan beberapa dari kenyamanan-kenyamanan ini karena ia dapat mempergunakan beberapa kenyamanan/perabot itu untuk menyelesaikan pekerjaan yang tengah dikerjakan dan dicita-citakannya. Dengan segala alasan, ia tidak perlu memberikan perhatian kepada setiap cemooh sepanjang perjalanannya menuju Tuhannya setelah keteguhan hati dan jihad sepanjang hidupnya. Meskipun ia menderita karena diganggu dan disakiti baik dari dalam maupun luar negaranya, ia tetap gigih dan teguh hati, mencari balasan dari Allah SWT saja, sampai dengan ia memperoleh tingkatan yang tinggi yang membuat hati dan pikiran banyak orang menjadi berbalik menujunya.
Selain itu, tak seorang pun dapat melemparkan keragu-raguan terhadap segala usaha dan jihad yang dilakukan oleh sang syeikh demi mempertahankan agama, dalam ketekunannya untuk dekat dengan agama, dan dalam pertahanannya terhadap batasan-batasan agama sepanjang hayatnya. Ia tak pernah terombang-ambing dalam mencari kesenangan duniawi, tak pernah menyanjung siapapun hingga mengorbankan keselamatan akhiratnya, dan tidak pernah menghiraukan segala cercaan yang diterimanya sepanjang perjalanannya menuju Tuhannya.
Selain itu pula, tak seorang pun dapat menuduhnya sebagai seorang yang fanatik atau ekstrim karena ia adalah seorang pemimpin dan pencetus teori sifat moderat di dalam zaman modern ini sekaligus seorang khatib serta mendukung jalan tengah dalam setiap pemikiran dan fiqhnya.
Sebagai tambahan lagi, kami menemukan bakat hukumnya, pengetahuannya tentang kenyataan hidup, kasih sayangnya yang kuat terhadap hukum warisan budaya, dan kemampuannya untuk memahami ayat-ayat Al Qur’an dan Sunnah dengan baik dan benar. Dengan demikian, berdasarkan apa yang telah disebutkan tadi, kami berharap agar banyak orang akan setuju dengan ijtihad dan pemikirannya.
Sang syeikh yang terpelajar menulis bukunya Fiqh Zakat dan dari buku itu ia memperoleh sebuah gelar Ph.D. pada tahun 1973. Tiga puluh enam tahun kemudian, ia menerbitkan bukunya yang berjudul Fiqh Jihad, dan dalam bagian pendahuluan di bukunya ia mengungkapkan,
Aku merasa bertanggung jawab untuk melakukan penulisan tentang topik ini setelah Allah membuka dadaku terhadapnya. Semenjak aku merampungkan bukuku, Fiqh Zakat, beberapa kali melintas di pikiranku sebuah ide untuk menulis buku yang serupa tentang Fiqh Jihad. Dan beberapa kali teman-temanku yang mulia telah memintaku untuk menulis tentang isu ini yang telah memecahkan manusia. Namun, aku akan meminta maaf kepada mereka, dengan memberi alasan bahwa aku kurang bersemangat untuk melakukan tugas semacam itu.
Meskipun demikian, sesekali di masa yang lalu aku menulis beberapa tulisan tentang itu, sambil menunggu waktu yang tepat untuk menulisnya secara teratur, secara berkelanjutan/tidak terputus. Hal ini karena topik ini adalah salah satu dari topik dasar yang harus ditempuh melalui penulisan yang sistematis mengingat kebutuhan umat Muslim, secara khusus, dan masyarakat dunia, secara umum, untuk mendapatkan pengetahuan yang layak/baik tentang topik ini, menarik topik ini jauh dari ketidakmoderatan kaum ekstrimis dan kelalaian yang tidak bertanggung jawab.
Walaupun Fiqh Zakat pada dasarnya menyatakan Zakat sebagai salah satu kewajiban yang disyariatkan dalam Islam terhadap umat Muslim dan menjadi salah satu pilar pokoknya, Zakat juga dapat digolongkan sebagai jihad; yaitu jihad dengan uang. Jihad jenis ini sangat dihargai dan tidak terabaikan baik di zaman sekarang dan di masa-masa yang lain.
Keutamaan Jihad di dalam Fiqh Al-Qaradhawi
Dari kalimat yang paling pertama di bagian pendahuluan, Syeikh Al-Qaradhawi memberikan ilustrasi akan pentingnya melepaskan kewajiban dan bahaya yang diakibatkan teradap kehidupan Ummat di masa sekarang ini dan masa yang akan datang. Ia berkata,
Tanpa jihad, berbagai batasan Ummat ini akan dilanggar, darah dari Ummat ini akan menjadi semurah debu, tempat-tempat ibadahnya/masjid-masjidnya akan menjadi lebih tidak berharga dari segenggam pasir, dan Ummat akan menjadi tidak berharga di mata para musuhnya. Sebagai akibatnya, si penakut akan menjadi berani untuk menyerang, si rendah diri akan memandang dengan kesombongan, dan para musuh akan menguasai tanah Ummat dan mendominasi serta mengatur masyarakatnya. Hal ini terjadi karena Allah SWT telah mencabut rasa takut dari hati musuh-musuh itu terhadap Ummat.
Jauh di masa lalu, Ummat ini akan dianugerahkan kemenangan atas musuhnya karena Allah SWT menanamkan rasa heran ke dalam dada para musuh akibat perjalanan panjang selama satu bulan yang ditempuh oleh Ummat. Lebih serius dari itu –atau katakanlah, salah satu alasan di balik itu semua- adalah kenyataan bahwa Ummat ini telah mengabaikan jihad, atau bahkan mungkin membuang jihad dari agendanya. Ummat ini telah meninggalkan jihad dari segala aspek mereka: secara fisik, spiritual, intelektual, dan kultural.
Mereka percaya bahwa kapan pun kaum Muslimin memiliki kemampuan, mereka berkewajiban untuk memerangi orang-orang kafir semata-mata karena kepercayaan mereka...
Sifat Moderat Syeikh Al-Qaradhawi dan Fiqh Jihad
Syeikh Al-Qardhawi berbicara tentang pendirian orang-orang tentag jihad, membagi mereka ke dalam tiga kategori. Tentang kategori yang pertama, ia menyatakan,
Ini adalah sebuah kategori yang mencari cara untuk membuat jihad dilupakan dan membuangnya dari kehidupan Ummat ini. Mereka justru, berasumsi sebagai perhatian utama mereka dan peningkatan peran Ummat –sebagaimana yang mereka klaim- dalam hal nilai-nilai spiritual dan perilaku yang mulia, dengan anggapan bahwa inilah jihad yang utama: perjuangan tiada henti melawan Setan dan keinginan/nafsu yang sia-sia.
Terkait kategori yang kedua, ia mengatakan,
Bertentangan dengan kategori pertama, ada kategori lain yang merasa bahwa jihad sebagai “perang melawan seluruh dunia”. Mereka tidak membedakan antara orang-orang yang perang melawan kaum Muslimin, menghalangi da’wah mereka, atau menarik mereka menjauh dari agama mereka, dengan orang-orang yang mengulurkan jembatan perdamaian dengan kaum Muslimin dan menawarkan rekonsiliasi dan pendekatan dengan umat Muslim, tidak mau berperang dan tidak mendukung musuh manapun yang berperang melawan umat Muslim.
Menurut kategori ini, semua orang kafir adalah serupa. Mereka yakin bahwa kapanpun kaum Muslimin memiliki kemampuan, mereka berkewajiban untuk memerangi orang-orang kafir itu semata-mata karena kekafirannya, yang menurut mereka alasan itu saja sudah cukup kuat untuk memerangi orang-orang kafir itu.
Ia kemudian memilih pendekatan yang lebih moderat/halus yang diwakilkan oleh kategori yang ketiga, dengan mengungkapkan,
Kategori yang Ketiga adalah, “Ummat yang moderat” yang telah dibimbing oleh Allah SWT kepada pendekatan yang moderat dan Allah SWT menganugerahkan mereka dengan pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman yang mendalam tentang Syari’ah dan kenyataan. Oleh karena itu, kategori ini tidak tergelincir ke dalam kelalaian seperti kategori yang pertama yang membiarkan hak Ummat ini tidak dipersenjatai dengan kekuatan, Al Qur’annya tidak dijaga dengan pedang, dan rumah-rumah serta tempat-tempat ibadahnya yang tanpa penjaga untuk melindungi dan membelanya.
Demikian juga, kategori ketiga ini tidak terjatuh dalam perbuatan berlebihan dan ekstrim dari kategori yang kedua yang siap memerangi orang-orang yang penuh damai dan menyatakan perang melawan semua orang tanpa pandang bulu; hitam atau putih, di Timur atau di Barat. Mereka meyakini tujuan mereka berbuat demikian adalah untuk menuntun manusia menuju jalan Allah SWT, menggiringnya menuju Surga, dan memegang tangan mereka secara paksa menuju Jalan yang Lurus.
Lebih jauh mereka menambahkan bahwa tujuan mereka adalah untuk memindahkan segala penghalang di depan manusia yang dibuat oleh penguasa/rezim yang lalim yang tidak mengizinkan mereka untuk menyampaikan Firman-firman Allah dan Sabda Rasulullah saw kepada manusia, sehingga manusia dapat mendengarnya dengan kencang dan jelas dan bebas dari segala noda.
Kepada Siapa Buku ini Ditujukan?
Imam Al-Qaradhawi menyusun daftar kategori orang-orang yang membutuhkan buku ini dalam rangka memperoleh pemahaman yang tepat tentang isu-isu jihad secara murni bebas dari sifat lalai dan berlebih-lebihan. Hal ini seakan-akan ia telah mengasimilasi berbagai kategori dari semua masyarakat, kaum Muslimin dan kaum non-Muslim, penguasa dan rakyat, warga sipil dan militer, serta filsuf/pemikir dan kaum intelek. Ia menyebutkan sepuluh kategori yang menurut saya mencakup berbagai kategori yang ada di seluruh masyarakat.
1. Pelajar-pelajar Syari’ah: Kategori pertama yang membutuhkan studi semacam itu adalah pelajar-pelajar Syari’ah dan para imam fiqh, karena sebagian besar mereka mempunyai konsep-konsep yang tetap dan diwarisi budaya tentang jihad. Mereka, contohnya, meyakini bahwa jihad adalah tugas bersama dalam Ummat dan tugas ini menuntut kita untuk menyerbu negara-negara non-Muslim sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun, bahkan walaupun orang-orang Non-Muslim itu tidak menunjukkan aksi permusuhan terhadap kita, namun mereka justru memberikan tangan mereka untuk berdamai dan berekonsiliasi. Walaupun pendapat ini sangat jelas bertentangan dengan banyak ayat Al Qur’an, dampak dari ayat-ayat semacam itu –sebagaimana telah kita indikasikan di atas- terhapus dalam pemikiran mereka dengan dasar bahwa ayat-ayat tersebut telah dicabut!
2. Para pelajar Ilmu Hukum: Kajian ini juga dibutuhkan oleh para ahli hukum dan ahli hukum internasional, di mana banyak diantara mereka yang telah membuat sendiri pandangan mereka tentang Islam dan Syari’ah, khususnya yang terkait dengan jihad, perang, dan perdamaian. Mereka memperoleh pandangan mereka dari beberapa kutipan penting yang terkenal dari buku-buku sekaligus dari informasi yang diedarkan oleh para penulis dan yang berasal dari mulut ke mulut. Orang-orang semacam ini, pada tingkatan tertentu tidak bisa disalahkan, karena para terpelajar/ahli Syari’ah sendiri merasa kebingungan dalam hal ini. Kalau begini, bagaimana yang terjadi dengan orang-orang awam?
3. Islamis: Lebih dari yang lain, kajian ini dibutuhkan oleh para Islamis. Maksud saya dengan “Islamis” adalah kelompok-kelompok Islam yang berbeda yang bekerja untuk mendukung sebab-sebab Islam, dan yang oleh sebagian orang disebut sebagai “kelompok politik Islam.” Kelompok-kelompok ini biasanya mencakup generasi muda dari kebangkitan Islam di bawah bendera mareka di beberapa Negara, baik di dalam maupun di luar dunia Muslim. Oleh sebab itu, kelompok-kelompok demikian, dengan kecenderungan dan sikap mereka yang berbeda-beda, apakah bersikap moderat atau ekstrim, adalah amat sangat membutuhkan kajian semacam ini, khususnya untuk mereka yang dikenal sebagai “kelompok keras”.
4. Para sejarawan: Para sejarawan juga membutuhkan kajian ini, khususnya bagi mereka yang berminat dengan biografi Sang Nabi dan sejarah ke-Islaman, dan mereka yang secara tidak benar dan tidak adil menafsirkan pertempuran-pertempuran Sang Nabi saw, dengan menganggap bahwa Sang Nabi lah yang memulai segala penyerangan dan perlawanan terhadap kaum politheis. Sebagai contohnya, mereka mengatakan Peperangan Badar, Penaklukkan Kota Mekkah, dan Perang Hunain. Mereka juga menyebutkan bahwa Rasulullah saw yang pertama kali memulai serangan atas kaum Yahudi di tanah-tanah dan benteng-benteng mereka, mengutip Peperangan Banu Qaynuqa’ dan Bani An-Nadir, sekaligus Perang Tabuk di mana Sang Nabi memulai pertempuran melawan kaum Romawi.
5. Kaum intelektual: Kajian ini juga penting bagi orang-orang yang suka berpikir, meneliti, dan melakukan meditasi, khususnya bagi mereka yang tertarik dengan pemikiran-pemikiran dan pergerakan-pergerakan Islam, baik yang bersifat moderat maupun ekstrim, yang lahir dari keduanya, maupun tindak-tindak kekerasan –atau sebagaimana yang mereka deskripsikan sebagai terorisme- yang melibatkan beberapa dari kelompok ini. Hal ini, sebagai hasilnya, menggiring beberapa pihak untuk secara eksklusif melemparkan tuduhan kepada Islam sebagai pelaku tindak kekerasan dan terorisme, di mana seakan-akan segala tindak kekerasan dan segala bentuk terorisme adalah sifat Islam. Tentu saja hal ini tidak tepat dan tidak benar.
6. Kaum orientalis: Kaum Non-Muslim, seperti kaum Orientalis dan mereka yang tertarik dengan kajian-kajian Islam juga membutuhkan kajian semacam ini. Kajian ini bermanfaat bagi mereka yang minatnya terutama bertujuan untuk mencari pengetahuan dan menemukan kebenaran, atau bagi mereka dengan minat yang termotivasi secara politis yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari sebuah negara atau dunia Barat secara umum. Kajian ini juga cocok bagi mereka yang memiliki motif-motif keagamaan untuk mengabdi kepada gereja dan menjalankan ide “Kristenisasi”.
7. Orang-orang yang terlibat dalam Dialog: Kajian ini penting bagi mereka yang menaruh minat dalam dialog antar-agama atau dialog yang bersifat antar-budaya dan antar-peradaban. Dari sudut pandang saya, kajian ini menggambarkan tembok yang kuat di dalam struktur dialog semacam itu, struktur yang terkadang kuat namun di waktu yang lain menjadi lemah; mengalami kemajuan sekaligus tersandung-sandung dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena cara berpikir yang sempit terhadap satu sama lain, sifat fanatis yang mendominasi pikiran dan pilihan yang diberikan untuk menerima warisan pemikiran dalam bentuk pemikiran yang sangat terbatas. Tanpa diragukan lagi, manusia tidak dapat melakukan dialog apabila mereka kurang mengenal satu sama lain.
8. Para politisi: Selain dari orang-orang di atas, para politisi dan para pengambil keputusan di seluruh dunia juga membutuhkan kajian ini. Mereka membuat keputusan-keputusan yang amat penting yang memiliki dampak yang krusial terhadap nasib banyak negara, kehidupan umat manusia, potensi-potensi manusia, dan kesucian agama-agama. Serangan mereka terhadap agama ini didasarkan pada konsep mental mereka terhadap agama ini. Mereka, pada kenyataannya, tidak mengetahui apa-apa, belum membaca Kitab Sucinya atau mengenal biografi dari Nabinya (SAW); mereka belum mempelajari sejarah dari agama ini atau bahkan belum memperoleh informasi yang cukup berarti tentang aqidah dan Syari’at nya.
9. Pihak militer: Jika para politisi membutuhkan kajian ini untuk membentuk pendapat tentang jihad yang benar dan adil, demikian pula dengan pihak militer, apakah mereka Muslim atau non-Muslim. Mereka yang salah menafsirkan kenyataan dari jihad diantara para pemimpin militer Barat, seperti politisi Amerika, sebagian besar masyarakat Eropa; daripada –sayangnya- seluruh dunia, sebaiknya membaca buku ini. Di sisi kami, kami harus menterjemahkannya untuk mereka sehingga mereka dapat membaca dan memahaminya dalam bahasa mereka sendiri. Tanpa diragukan lagi, sebagian besar dari mereka, ketika logika dipresentasikan secara jelas kepada mereka, mereka menerima logika itu, dan tidak mendebatnya. Bahkan, kalau mereka mendebatnya di depan publik, mereka akan dikalahkan secara internal, dan hal ini adalah keuntungan yang besar.
10. Kaum Intelektual Publik: Terakhir, kajian ini juga diperlukan oleh para pembaca secara umum, kaum intelektual yang bersifat umum dan tanpa penggolongan, baik Muslim maupun non-Muslim. Orang-orang semacam ini mewakili sejumlah besar massa di berbagai negara. Mereka perlu untuk mengetahui kenyataan dari pandangan Islam tentang dunia ini dan kenyataan tentang berjihad di Jalan Allah.
Diantara aspek-aspek pendekatan ini terhadap fiqh, pemahaman dan ijtihad, adalah kita harus memperbarui agama dari dalam dan melakukan ijtihad yang sesuai dengan kehidupan dan zaman kita.
Pendekatan Al-Qaradhawi dalam Memperkenalkan Fiqh Jihad
Al-Qaradhawi, seorang terpelajar yang termasyur, berbicara tentang pendekatan yang digunakannya di dalam bukunya –yang semoga- menyenangkan dan bermanfaat, ia mengatakan bahwa pendekatannya itu bersandar pada enam pilar: yaitu, Kemuliaan Al Qur’an, kemurnian Sunnah, perbendaharaan/kekayaan dari fiqh Islam. Selain daripada itu, ia juga mengatakan bahwa pendekatannya juga dibangun dengan melakukan perbandingan antara hukum/undang-undang Tuhan dan sistem-sistem positif, dengan mempertimbangkan kenyataan kontemporer yang tengah dijalani oleh manusia. Dengan demikian, ia telah mengadopsi pendekatan yang bersifat moderat sebagaimana yang selalu ia miliki di buku-bukunya, penelitian-penelitiannya, dan fatwa-fatwanya. Dalam hal ini, sang syeikh bekata,
Pendekatan yang saya adopsi dalam menulis buku ini bergantung dari sekompok elemen:
Pertama, menjadikan ayat-ayat Al Qur’an Yang Mulia sebagai sandaran utama, karena Al Qur’an adalah sumber yang terutama dan terpenting di dalam Islam, di mana Al Qur’an adalah pasti dan tidak terbantahkan. Al Qur’an telah terbukti dengan sangat meyakinkan bahwa ia otentik melalui rantai pengiriman yang terpercaya dan tidak terganggu, dihafal di dalam hati, dilafazkan melalui lisan, dan ditulis di dalam mushafs (salinan Al Qur’an). Tidak ada perbedaan pendapat sedikitpun diantara kaum terpelajar terkait Al Qur’an.
Lewat Al Qur’an, kami memperoleh otentisitas dari seluruh sumber yang lain, termasuk Sunnah kenabian itu sendiri. Dengan demikian, kemurnian Sunnah dibangun melalui ayat-ayat Al Qur’an. Selanjutnya, kami memahami Al Qur’an sebagai cahaya dari ekspresi-ekspresinya yang bersahaja, dengan bahasa literal dan metaforanya, yang mempertimbangkan tata urut dan isinya, yang menghindari kepalsuan dan ketidakpastian, dengan teks-teksnya yang penuh dengan misi perdamaian, memastikan bahwa ayat-ayat dari Kitab yang suci ini mengajak manusia untuk berbuat kebenaran dan memahami satu sama lain.
Yang Kedua, bersandar kepada narasi-narasi Sunnah yang terbukti secara otentik berasal dari Sang Nabi (SAW). Sunnah ini meliputi ucapan-ucapannya, perbuatannya, dan persetujuannya yang dikirim dalam bentuk hadits dengan rantai suara narasi, tanpa adanya mata rantai yang terputus, dan tanpa adanya faktor-faktor yang ganjil atau merusak.
Lebih jauh, hadits-hadits semacam ini tidak boleh bertentangan dengan sumber yang lebih kuat dan lebih murni: ayat-ayat suci Al qur’an, hadits lain, atau sumber lain yang diperoleh dari ilmu pengetahuan. Dengan demikian, hadits harus bersifat ilustratif, tidak bertentangan, dan harus sejalan terhadap apa yang telah dinyatakan di dalam Al Qur’an serta Keseimbangan (keadilan) yang telah diturunkan oleh Yang Maha Kuasa.
Yang ketiga, dengan mengambil manfaat dari perbendaharaan/kekayaan fiqh Islam dan menggunakan sumber-sumbernya yang berlimpah, tanpa prasangka terhadap fiqh dari mazhab tertentu melawan mazhab yang lain, atau secara eksklusif berpegang teguh pada satu imam sementara mengabaikan imam yang lain. Daripada begitu, kita sebaiknya mempertimbangkan warisan yang luar biasa ini untuk dimiliki oleh setiap peneliti sehingga mereka dapat menyelami kedalamannya, memahami rahasia-rahasianya, dan memanfaatkan harta karunnya yang tersembunyi.
Sementara melakukan hal itu, seorang peneliti sebaiknya membandingkan berbagai pandangan dan bukti yang berbeda-beda, tanpa mengadopsi sebuah posisi yang fanatik untuk mendukung pendapat tertentu, atau secara permanen meniru suatu mazhab. Namun, kita dapat mengadopsi pendapat Abu Hanifah dalam satu kasus, pendapat Malik dalam kasus lainnya, dan pendapat Ash-Syafi’i, pendapat Ahmad, dan pendapat Daud dalam kasus-kasus lainnya, dan demikian seterusnya. Kita bahkan, dalam kasus-kasus tertentu dapat merujuk kepada mazhab kaum non-Sunni, seperti mazhab Zaydi, Ja’fari, atau Ibadi, jika memang mereka menyediakan solusi yang dibutuhkan. Lebih dari itu, kita juga boleh mengadopsi pendekatan dari beberapa mazhab yang sudah sangat tua, seperti Al-Awza’i, Ath-Thawri atau At-Tabari.
Yang Keempat adalah betapa tidak cukupnya bagi kita untuk semata-mata hanya membandingkan antar-mazhab dan pendapat dalam fiqh Islam dengan sekolah-sekolahnya. Sebaiknya, kita juga membandingkan fiqh Syari’ah Islam sebagai satu kesatuan dengan hukum-hukum positif dari Barat. Tujuan dari perbandingan itu adalah untuk memberikan ilustrasi tentang tingkat kemurnian Syari’ah, ketegasan/ketetapan dari prinsip-prinsipnya, ketidakbergantungannya dari hukum-hukum yang lain, dan konsiliasinya antara idealisme dengan realitas, dan antara Tuhan dengan manusia.
Yang Kelima, menghubungkan antara fiqh dengan realitas kontemporer yang dijalani oleh Ummat dan oleh dunia. Hal ini adalah karena fiqh dibuat untuk menyelesaikan problematika individu Muslim, keluarga Muslim, komunitas Muslim, negara Muslim, dan Ummat Muslim melalui aturan-aturan Syari’ah yang bersifat toleran.
Dengan demikian, fiqh mencari penyelesaian atau obat dari penyakit-penyakit yang berasal dari dalam diri kaum Muslimin –bukan dari luar- inilah harta dari Syari’ah yang mulia ini. Fiqh juga menjawab pertanyaan apapun yang muncul baik dari individual maupun dari masyarakat terkait permasalahan keagamaan dan kehidupan. Fiqh juga membimbing barisan Ummat yang beradab ini menuju cahaya dari aturan-aturan Syari’ah yang mulia.
Yang keenam, sebagaimana kasus yang terjadi pada buku-buku dan para peneliti kita, di dalam buku ini kita telah mengadopsi sebuah pendekatan yang Allah SWT telah membimbing kita untuk menentukan dan lebih memilih berada dalam da’wah, pendidikan, iftaa’, penelitian, reformasi dan renovasi, yakni pendekatan secara moderat dan halus.
Di antara aspek-aspek pendekatan ini terhadap fiqh, pemahaman dan ijtihad, adalah kita harus memperbarui agama dari dalam dan melakukan ijtihad yang sesuai dengan kehidupan dan zaman kita, sebagaimana imam-imam terdahulu kita melakukan ijtihad yang sesuai dengan kehidupan dan zaman mereka. Kita harus mempergunakan sumber-sumber ilmu pengetahuan yang dari sanalah mereka melahirkan pandangan-pandangan mereka, memahami bagian-bagian dari teks dalam kerangka berpikir dari tujuan secara keseluruhan, dan melacak isu-isu yang bersifat ambigu kembali kepada hal-hal yang jelas, hal-hal yang bersifat rekaan kembali kepada hal-hal yang pasti, dan hal-hal yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum.
Selain itu, kita juga harus menjadi tegas ketika kita berhadapan dengan hal-hal yang mendasar, dan memudahkan urusan ketika berhadapan dengan isu-isu yang bersifat sekunder/tidak mendasar, mendamaikan antara ketetapan Syari’ah dan variabel-variabel zaman, dan menghubungkan teks yang asli dengan kebijaksanaan yang termanifestasi.
Penting bagi kita untuk menghindari sikap terlalu memihak kepada pendapat lama atau memihak keagungan dari pemikiran baru, untuk mengikuti prinsip-prinsip yang tujuan-tujuannya tidak berubah, namun metodenya dapat fleksibel; dan untuk mengambil manfaat dari apapun manfaat yang bisa diambil dari pandangan-pandangan lama sebagaimana kita menerima pemikiran baru manapun selama bermanfaat.
Sebagai tambahan, kita harus mencari inspirasi dari masa lalu, hidup di masa sekarang, dan melihat ke masa yang akan datang, menggali kearifan di dalam tempat apapun yang dari sana ia terus maju, dan mengukur segala pencapaian dari orang lain terhadap nilai-nilai yang kita miliki, lalu kemudian, menerima apa-apa yang sesuai dengan kita dan menolak segala sesuatu yang tidak bermanfaat bagi kita, demikianlah seterusnya.
Dalam kemasyurannya, sang ilmuwan yang luar biasa ini, Syeikh Al-Qaradhawi telah membagi buku Fiqh Jihad ini ke dalam sebuah pendahuluan, sembilan bab, dan sebuah kesimpulan. Sehingga, Insya Allah, kami akan mengadakan beberapa ulasan tambahan tentang isu-isu lain yang diangkat oleh Sang Imam dalam setiap bagian/bab dari kajiannya. Kami memohon bimbingan dan pertolongan dari Allah SWT.
Dr. Rajab Abu Maleeh terlahir di Bani Suef, Mesir, pada tahun 1996. Ia mendapatkan gelar MA dalam bidang Fiqh dan Prinsip-prinsipnya dari Fakultas Darul Ulum, Universtas Kairo, dan ia memperoleh gelar Ph.D nya dalam bidang Syari’ah dari Fakultas Darul Ulum. Ia menulis beberapa buku dan melakukan penelitian tentang fiqh. Ia adalah seorang konsultan Syari’ah pada website IOL.
http://www.sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=820%3Afiqh-jihad-al-qardahwi-bagian-pertama&catid=67%3Aart&Itemid=193&limitstart=3